Aku suka memandangi langit biru, karena ia cerah merekah
mengisyaratkan keceriaan. Namun, aku tak suka melihat langit tatkala ia
kelabu, karena ia terlihat sendu, semu dan membuat jenuh. Maka, aku
selalu berharap langit kan selalu biru, bukan kelabu.
Aku bahagia, karena hari ini awan biru, sangat biru, cerah, merekah
merona, membuat hari hariku bersamamu semakin indah. Dan, harus ku
ulangi setiap hari, bahwa Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Untuk itu
Aku sangat bahagia tatkala mendengar desah nafasmu ketika Kau terlelap
tidur, Aku sangat bahagia ketika aku di buat sibuk melayani hari harimu.
karena, Aku ingin menjadi sosok sempurna di matamu, walaupun
sesungguhnya Aku sangat tak sempurna, untuk itu, maafkan Aku Suamiku!.
Ketika Aku kecil, Aku adalah anak penurut, setiap kata yang terucap dari
bibir Bapak bagiku itu adalah titah yang wajib di dengar dan di
laksanakan perintahnya, mungkin saat itu, bapak ibuku bersyukur memiliki
anak sepertiku.
Hingga saat aku lulus Sekolah Dasar, Aku di kirim Bapak ke salah satu
Pesantren tersohor di Jawa Timur. Aku menurut saja, walau sebenarnya,
ada rasa tak terima di hatiku, karena Aku tak ingin jauh dari ibuku, Aku
tak ingin tinggal sendirian tanpa di temani seorang keluarga di sana.
Namun, apalah daya, Aku adalah anak yang harus menuruti semua perintah
Bapak, maka ku anggap inilah pilihan dan jalan yang terbaik dan harus
kujalani.
Selanjutnya, ku jalani hari hari tanpa gairah di Pesantren. jiwa dan
ragaku diam, namun fikiranku melayang, membayangkan suasana rumah,
membayangkan apa yang sedang di lakukan Bapak dan Ibuk tatkala Aku sibuk
belajar, mengaji, mengaji dan mengaji, tak ada yang lain. Maka,
muncullah hasil dari hari hariku yang tak bergairah menimba ilmu di
pesantren dengan surat keputusan bahwa Aku tidak naik kelas. Tuhan
bantulah Aku, harus bagaimana Aku menjawab pertanyaan Bapak, harus
bagaimana Aku mempertanggung jawabkan semua kesalahanku.aku takut ya
Rabb.
Hari hari yang ku lalui semakin sulit, Aku ketakutan, Aku gelisah,
setiap kali terbayang wajah Bapak Aku semakin takut, hingga badanku
menggigil tak karuan. Dua hari yang akan datang Bapak dan Ibu akan
mengunjungiku ke sini, aku semakin ketakutan, membayangkan betapa
marahnya Bapak nanti ketika mengetahui bahwa Aku tidak naik kelas,
kemudian terlintas di benak fikirku “udah Lia, pergi aja dari Pesantren,
kamu bisa bebas, hidup bebas tanpa kekangan, kamu bisa bebas dari
amukan Bapakmu ketika nanti ia tau kalau kamu ngga naik kelas”, rupanya
setan berhasil meracuni fikiranku, dan aku mulai bersiap siap tuk
menjalankan aksiku, mungkin separuh otakku sudah kehilangan
kewarasannya.
Takut, takut, takut, hanya itu yang ada di benakku, maka satu satunya
jalan ialah aku harus pergi, agar aku tak bertemu dengan bapak. Maka,
siang itu, tatkla semua teman temanku sibuk belajar, aku pergi ke kamar
mandi, karena tadi pagi sengaja aku menrauh tas yang berisi baju bajuku
disana, dan akupun keluar dari gerbang sekolah, hingga keluarlah aku
dari batas zona santri. Aku bebas pekikikku girang dalam hati!
Sepanjang perjalanan, aku tak memikirkan kemanakah kaiku kan menapak,
aku hanya memikirkan tentang bagaimana bisa bebas dari amukan
bapak,karena aku sangat takut untuk menghadipnya, hingga aku tak
memikirkan sedikitpun tentang arahku melangkah, aku terus saja berjalan.
Hinga malam datang, baru kusadari bahwa aku berjalan tanpa arah, aku
tak punya tujuan, maka kuputsukan malam itu untuk menginap di suatu
masjid, sepi sunyi, dingin, dan akupun tertidur sebab terlalu capek.
Adzan subuh mambangunkanku, aku beranjak wudlu dan segera sholat.
Setelah sholat aku mulai berfikir bahwa di daerah ini masih belum aman,
karena ini terlalu dekat dengan pesantren dan bapak serta keluarga pasti
masih bisa menjangkau dan bisa menemukanku, seketika itu setan mulai
menghasud fikiranku ”kenapa ngga ke surabya aja?, itu kota besar, pasti
bapakmu akan kebingungan jika mencari disana”, maka dengan segera aku
Tanya ke kanan kiri bagaiman rute tuk menuju Surabaya.
Setelah 5jam perjalanan, sampailah aku di Kota Surabaya, aku ling lung,
aku tak tahu kemana kakiku melangkah, dan uangku sangat menipis, aku
harus melakukan sesuatu untuk bertahan lebih lama lagi. Kurasakan cacing
cacing di perutku mulai meronta meminta makan, kemudian di seberang
jalan kulihat ada warung kecil, segera aku berjalan menujunya, dan aku
pesan 1 porsi nasi pecel, ibu pemilik warung itu masih belum terlalu
tua, bisa di tebak dari raut wajahnya mungkin ia masih kepala empat, ia
cantik dan ber make up tebal “aneh, jualan nasi aja kok tebel banget
make up nya” kata hatiku. “neng bukan warga sini ya? Kok wajahnya asing,
bawa tas gede lagi!” Tanya ibu itu, kemudian aku tersenyum dan
menjawab”hehe, iya bu, saya bukan orang sini”, “terus, kesini mau
ngapain neng?” Tanya ibu itu lagi, “eh, saya pingin kerja di sini bu,
tapi belum tahu kerja apa” jawabku polos, kemudian ibu itu tersenyum
nyengir sambil bisik bisik dengan lelaki paruh baya di sampingnya, entah
suaminya atau apa, aku tak tahu.
“yaudah neng, mau kerja sama saya aja?” tawar ibu itu, aku senang bukan
main ketika mendengar kata kerjaan, maka dengan cepat aku menjawab “iya
bu, saya sangat senang sekali, saya mau kerja apa aja yang penting halal
dan bisa buat saya bertahan hidup disini”. Saat itu, jadilah aku
pembantu di warung kecil itu, aku membantu semua pekerjaan yang aku bisa
melakukannya, mulai dari mencuci piring, menggoreng ikan, sampai
melayani pembeli. warung itu buka hingga dini hari, dan anehnya semakin
malam semakin ramai pengunjung warung kecil ini, dan pembelinya rata
rata adalah lelaki, aku tak berani bertanya walau satu pertanyaan pun,
maka kusimpan baik baik semua pertanyaanku dalam hati.
Hari hari yang kujalani membuat aku capek, dan aku mulai merindukan ibu
bapak, aku merindukan suasana pesantren, aku mulai berfikir betapa
bodohnya aku, hanya karena ketakutan akan amukan bapak, aku malah pergi
dan akhirnya aku susah sendiri. Aku membayangkan, betapa bingungnya
bapak dan ibuk mencari keberadaanku, aku mulai meratapi ketidak
warasanku
Gajian dari warung ini hanya sedikit, namun untungyna aku tidur dan
makan ikut mbak Nilam, ibu ibu pemilik warung ini yang kini ku panggil
mbak agar lebih akrab. Maka ku sampaikan keluh kesahku tentang gajianku
yang hanya 150 ribu tiap bulan, karena bagiku, ini tak sebanding dengan
kerjaku yang di mulai petang hingga malam. “yaudah, kalo mau cari kerja
yang lain silahkan keluar!, saya hanya kuat bayar segitu, atau kalau
kamu pingin gaji gede ada satu pekerjaan untukmu” mendengar gaji gede
aku langsung semangat “kerja apaan mbak?” “jadi tukang pijit urat di
tempat teman saya” jawab mbk nilam “tapi saya ngga bisa mijit Mbak”
jawabku, “gampang, nanti kamu disana bakal di training sampai kamu
bisa”, maka, kuterima tawaran kerja jadi tukang pijit urut itu.
Mulai dari itu, pindahlah aku dari tangan mbak nilam ke tangan Mbak
Yosi, majikan baruku, tempat dimana aku kan bekerja sebagai buruh pijat.
Malam menjelang, pasien pijatnya sangat banyak, “laris sekali tempat
pijatan Mbak Yosi ini ya”, gumamku dalam hati, dan rata rata pasiennya
adalah laki, laki, namun, di ruangan ini tak semuanya laki laki, ada
beberapa wanita dengan rok mini serta baju ketat yang menutupi, aku
mulai curiga dengan tempat ini, tapi apalah daya, aku sudah terikat
dengan tempat ini, karena aku sudah menerima DP dari gajianku bulan
depan.
Masa trainingku memang benar benar belajar memijat, hingga aku di
nyatakan sudah bisa dan mulai nanti malam aku sudah boleh mulai bekerja,
“Lia, mulai nanti malam kamu sudah bisa mijit ya” kata Mbak Yosi “ iya
mbk, tapi saya takut nanti salah urat mbk, kan saya belum paham betul
tentang miit urat” jawabku polos. Kemudian, Mbak Yosi tersenyum dan
berkata “yaudah, lakuin sebisanya, dan lakuin semua yang di minta pasien
kamu nanti” “iya Mbak” jawabku.
Malam mulai menjelang, aku di beri pakaian oleh Mbak Yosi, katanya biar
pelangganku nanti bisa nyaman ketika di pijit, dan anehnya baju itu
adalah rok mini dengan tank top yang ketat, aku tak tahu apa apa dan aku
takut tuk bertanya. “Lia, pasien kamu datang, kamu siap siap di kamar
ya” seru Mbak Yosi.
Selanjutnya, aku hanya bisa meratapi semua terjadi dengan diriku, ada
sesal menyeruak seakan akan memenuhi rongga dadaku, hingga nafasku
sesak, suaraku tertahan. “Rabbi, ampunilah semua dosa dosaku, ampuni aku
bapak, ibu!” pekikku memecah keheningan malam, ternyata aku baru
mengetahui arti sebenarnya dari pekerjaanku sebagai tukang pijit. Namun,
apa daya, aku sudah terikat dengan mbak Yosi, dan jika aku melanggar
perjanjian maka aku harus mengembalikan DP yang telah di berikan Mbak
Yosi kepadaku 5x lipat. Dan aku tak punya uang sebanyak itu.
Hari hari selanjutnya, aku pun mulai menikmati pekerjaan ini, aku
terbuai oleh dunia, mataku di butakan dengan uang haram, dan aku
berfikir bahwa Allah telah membenciku, karena aku sudah banyak dosa,
maka biarlah aku tetap menjalani pekerjaanku ini, karena diriku sudah
terlanjur kotor dan hina.
5 tahun kujalani hidup di Surabaya, hingga suatu saat aku merasa jenuh
dengan suasana dan pekerjaanku. Kemudian, akupun diam diam keluar dari
tempatku bekerja dengan membawa semua barang barangku, serta semua uang
haramku yang melimpah. “aku ingin pulang” seruku dalam hati. Sesampainya
di rumah, betapa kagetnya bapak dan ibu melihat kedatanganku, kulihat
mereka beranjak tua, ada garis keriput di wajahnya, “Tuhan, ampuni
segala dosa dosaku, mulai sekarang aku berjanji akan menebus semua dosa
dosaku terhadap bapak dan ibu, aku akan selalu menemaninya”.
Ketika bapak, ibu dan semua saudara saudaraku bertanya tentang kegiatan
serta pekerjaanku di surabya, aku menjawab bahwa aku bekerja menjdai SPG
di salah satu toko kosmetik terkenal, dan mereka pun percaya. Hingga
suatu saat, datanglah lelaki kerumah menemui bapak, dan lelaki itu
bilang kalau ia berniat menikahiku.
Aku menerima lamaran itu, dan bapak pun mengangguk setuju. Namun, ada
sesal di hatiku, lelaki itu adalah lelaki baik baik, sedangkan aku
adalah wanita hina yang mencoba menutupi semua kejelekanku dengan
kebohonganku, dengan semua cerita palsuku.
Hari pernikahan pun tiba, betapa bahagianya aku, karena baru sekarang
aku merasakan jatuh cinta, dan tulusnya sebuah perasaan. Akupun mulai
menangis sesenggukan mengingat semua masa lalu hinaku. “kenapa kamu
menangis?” Tanya suamiku, aku hanya diam. Kemudian, suamiku memelukku
erat, hangat. Baru kali ini aku merasakan pelukan sehangat ini, meskipun
sebelumnya aku telah berpindah pindah dari pelukan lelaki ini ke lelaki
yang itu dan seterusnya. “Rabbi, ampuni semua dosa dosaku, aku
menyesal, sungguh menyesal” aku meratap tanpa lelah, berharap ampunan
Nya kan selalu melimpah.
Hari hariku semakin terasa bahagia, karena aku sudah menceritakan semua
masa laluku kepada suamiku, dan ia pun menerima dengan lapang dada masa
laluku. Aku semakin mencintainya, dan aku ingin selalu menjadi sosok
yang sempurna di matanya, walau sebenarnya kau sangat tidak sempurna,
bahkan hina.
Tak terasa, tiga tahun sudah aku menjalani rumah tangga. Namun, aku tak
kunjung di karuniai seorang anak, aku dan suamiku pun mulai cemas.
Kemudian, hari itu kami sepakat tuk konsultasi ke dokter kandungan,
betapa kagetnya aku, ketika aku di vonis positif HIV, tubuhku sudah
terjangkit virus menghinakan itu. Dan, itu sudah menjalar di tubuhku
sejak 4 tahun yang lalu. “rabbi, inikah balasan untuk semua masa
laluku?” aku terdiam lesu di pelukan suamiku.
“mas, apakah kamu tak takut tertular penyakitku?” tanyaku kepada
suamiku. “aku takut, sangat takut. Namun, rasa cintaku menutupi semua
ketakutanku, dan aku berjanji tuk selalu menemanimu, bagaimanapun
keadaanmu, karena aku suamimu, dan emngkau istriku” jawab suamiku
mantab. Akupun semakin mencintainya, mengagumi kesabarannya.
Berita tentang penyakit yang ku derita pun menyebar hingga ke pelosok
desa, meskipun kami sekeluarga berusaha menutupinya rapat rapat. Namun,
apalah daya, inilah hukuman yang harus ku terima, aku dan suamiku di
usir dari kampung. Sungguh, aku malu, melebihi rasa Maluku terhadap Mu
ketika aku menjalani pekerjaan itu ya Rabb. Kemudian, aku dan suamiku
pun memutuskan tuk menetap di rumah bapakku.
Hingga hari hariku terasa semakin lelah, tubuhku semakin melemah, virus
virus itu sudah memakan semua tenagaku, aku tak kuasa melakukan apa apa.
Kemudian, suamiku mengajak periksa ke dokter, agar mengetahui
perkembangan penyakitku, apakah virus virus itu sudah menyerah setelah
berbagai macam obat kutelan. Ternyata tidak, virus itu semakin menjalar.
Dan bahkan suamiku positif tertular,” tuhan, cukup aku saja yang engkau
hukum, kenapa kau biarkan virus hina itu menyerang tubuh suamiku yang
tak berdosa” aku menangis sejadi jadinya, aku sangat menyesal, karena
suamiku ikut merasakan akibat dari masa laluku.
“sayang, aku sudah lelah” kataku kepada suamiku. “sst, jangan bilang
seperti itu, kita harus yakin kalau kita pasti sembuh” jawab suamiku,
namun, aku semakin lelah, mataku berat tuk di buka.hingga aku merasa ada
yang hilang dari ragaku, akupun terkulai lemas, diam pucat di pelukan
suamiku.
Maafkan Aku, Suamiku
karena Aku meninggalkan awan kelabu di hidupmu.
padahal, Aku berharap agar awan biru selalu menanungi hidupku serta hidupmu.
namun, ini semua balasan atas masa lalu kelamku
maafkan Aku, karena telah membuatmu merasakan pahitnya cercaan orang
Aku hanya bisa berdoa semoga awan kelabu itu kan segera berlalu
dan berganti menjadi awan biru
agar kau bisa merasakan hidup tentram tanpa cercaan orang
sumber:
http://mieakarimah.blogspot.com
|