Bagaimana seni memimpin pemimpin? Dan, bagaimana
karakteristik seorang pemimpin yang baik? Bagiamana cara memahami dan
memimpin perubahan?
Itulah sebagian hal-hal yang akan dibahas dalam buku Super Leadership
karya A.B. Susanto ini. Penulis mengibaratkan Superleader seperti
dirigen (conductor) yang memimpin orchestra, ia harus memastikan bahwa
nada dan suara yang dimainkan meyatu dengan harmonis untuk menghasilkan
musik dan nada yang indah.
Dari judulnya sudah jelas buku ini membahas tentang cara menjadi
seorang pemimpin yang super, dan membuat orang lain menjadi pemimpin.
Buku ini dibagi dalam 5 Bab, di mana bab I, II, dan III merupakan
paparan teoritis dengan sedikit contoh kasus mulai halaman 34 dan
selanjutnya. Sedangkan Bab IV, merupakan kasus bagaimana seorang
superleader dapat memahami dan memimpin perubahan. Bab V, memahami dan
mengelola perubahan yang harus di milki oleh seorang superleader.
Seorang superleader yang dimaksud dalam buku ini adalah orang yang
memimpin pemimpin lain di bawahnya. Contohnya, President RI, gubernur,
direktur utama suatu holding company, atau pemimpin di bidang science
(penelittian HIV Aids) dan pemimpin bidang spiritual.
Superleader harus mampu membuat pencapaian yang besar karena
superleader mempunyai superfollower. Superleader juga mendelegasi,
memotivasi, mendidik, mudah diakses, pandai memilih dan membesarkan
bibit unggul, mengubah my problem à out problem à your problem, pandai
membawa diri.
Pendekatan yang diterapkan Superleader seperti Appreaciative Inquiry
(AI), yaitu pendekatan dalam pengembangan organisasi yang menawarkan
proses secara positif dalam mengeksplorasi secara kolektif,
berimajinasi, kolaboratif merancang, dan bersama-sama berkomitmen
melangkah ke masa depan. Ide dasarnya adalah memperkuat hal-hal yang
menjadi kelebihan organisasi. Ini akan memberikan harapan, cara berpikir
positif, dan bukan mengorek yang pedih dan menyakitkan. Sebetulnya,
secara singkat A.B. Susanto mau mengatakan think positively.
Diagnosis masalah ada empat fase: discovery, dream, design, dan
destiny yang dibahas secara rinci dalam buku ini. Superleader tidak
harus menjadi superstar. Di sini A.B. Susanto menekan bahwa superleader
tidak harus memberikan keterangan langsung tentang isu-isu penting,
kecuali memang tidak ada wakil perusahaan atau dikhawatirkan media
mendapatkan informasi yang salah.
Menurut The Jakarta Consulting Group (JCG) ada 9 peran superleader
sebagai kapten, dokter, eksekutor, ahli strategi, pelatih/coach,
pembimbing (councellor), groupdynamizer (menjamin dinamika kelompok
untuk membangkitkan energi dan antusiasme serta membangun kepercayaan),
change agent, entrepreneur, dan corporate steward (memerhatikan dan
memenuhi kepentingan para pemangku, orgnisasi, dan menyeimbangkan tujuan
jangka panjang dan keuntungan jangka pendek).
Seorang superleader tidak cukup hanya mempunyai IQ tinggi saja, dia
juga harus mempunyai EQ (Emotional Quotient/kecerdasan emosional). EQ
yang dimaksudkan antara lain; self disclosure (memahami cara
mengungkapkan sudut pandang postif dan memberi pencerahan), insight
(kemampuan mengenal pola emosi dan reaksi), personal responsibility
(selalu memenuhi janjinya), exchange agent (mendorong pertukaran positif
dalam ide, perasaan, dan informasi), dst.
Seorang superleader, juga harus komunikatif, dapat mendengarkan
secara aktif, dan seorang king maker (seorang superleder harus tahu
talenta pengikutnya untuk dikembangkan, apresiatif, pandai menggunakana
the law of leverage, mampu mengatasi masalah, tegas tapi tidak kasar,
memiliki semangat entrepreneurship, mampu mengelola sumber daya, mampu
melakukan aksi spiral, memimpin dalam situasi krisis, juga mampu
melakukan eksekusi.
Superleader harus diimbangi dengan superfollower. Bila tidak, seroang
superleader cenderung menjulang tinggi dan tidak berpijak ke tanah,
sehingga bisa menjadi megalomania (menganggap dirinya besar, melebihi
yang sebenarnya), otoriter, narsistis (senang di puja dan memuja
dirinya), dan raja hutan (tidak dapat mentolerir ada orang kuat).
Pemimpin adalah role model (contoh), pengajar dan coach yang sangat
berpengaruh pada pembentukan budaya organisasi. Pendiri dan pemimpin
mengetahui bahwa perilaku mereka memiliki nilai untuk mengkomunikasikan
asumsi dan nilai kepada anggota organisasi. Ini dapat terlihat pada
kehidupan dan ritual organisasi: siklus rutinitas, prosedur, laporan,
bentuk, dan tugas yang berulang-ulang setiap hari, minggu, bulan dan
tahun.
Superleader sebagai pemimpin perubahan, harus memahami perubahan,
mampu mengelola perubahan mengimplementasikan perubahan. Perubahan
dengan langkah-langkah yang inovatif yang dilakukan untuk menciptakan
nilai-nilai tambah dalam organisasi dalam memenangi kompetisi.
Mengelola perubahan harus dengan langkah-langkah perbaikan bertahap
(incremental step) dan dilakukan evaluasi terhadap setiap milestone. The
JCG Mastery of change model menyebutkan di perlukannya spirit
perubahan, alasan yang mendasari perubahan, dan bagaimana mengelola
perubahan (the spirit of change, the real reason of change, the how of
change).
Seorang superleader harus juga memikirkan dimensi implementasinya
untuk konsepnya. Ada beberapa alasan mengapa banyak pemimpin organisasi
mengalami kesulitan dalam menangani budaya organisasi: tekan untuk
mencapai tujuan finansial jangka pendek, meningkatnya kompleksitas
organisasi, keinginan dan kebutuhan untuk mengelola krisis yang selalu
berulang, dan kurangnya pemahaman mengenai kepemimpinan dalam
organisasi.
Agar pemimipin mampu mengembangkan budaya organisasi secara efektif, pemimpin harus mempunyai kualitas dan keyakinan terhadap
apa yang dikerjakan. Pemimpin juga perlu fokus untuk menghilangkan rasa
takut, menciptakan sebuah payung keyakinan, serta menerjemahkan
keyakinan ke dalam prinsip-prinsip perilaku etis (ethcial cide of
conduct).
Buku ini diawali dengan teori manajemen yang langsung menggebrak
dengan istilah-istilah manajemen yang bagus dan padat. A.B. Susanto
ingin mengingatkan pembaca bahwa ada risiko kegagalan besar bila
teori-teori manajemen yang bagus dan produk import itu langsung
diterapkan di perusahaan Indonesia. Keseluruhan teori pemimpin ini bisa
disimpulkan seperti wisdom dari pendiri Taman Siswa: ”Ing ngarso sung
tulada, ing madya mangun karso,d an tut wuri handayani”.
Tidak perlu kasar, tetapi tegas, memerhatikan karyawan, menganggap
pemimpin di bawahnya sebagai teman dan mitra, dan seterusnya. Tetapi
sayang sekali, di awal buku ini A.B. Susanto kurang melengkapi dengan
contoh dan hal-hal praktis yang ringan sehingga teori manajemennya tidak
mudah dimengerti oleh pembaca. Tetapi, hal ini ”mencair” pada halaman
selanjutnya. Contoh kasus semakin lancar dan terasa geregetnya pada Bab
IV.
Yang menarik, buku ini sangat kaya akan teori manjemen, khususnya
teori tentang superleader. Hal ini menunjukkan pengalaman A.B. Susanto
sebagai ahli manajemen. Buku ini mengutip banyak referensi dari buku
lainnya dengan harapan pembaca mengetahui teori-teori dari para pakar
lainnya.
Tetapi, hal ini justru agak membingungkan pembaca karena banyaknya
bahasan yang hampir sama. Buku ini akan lebih menarik jika pembagian bab
maupun subbab lebih sistematik dan masing-masing pembagian dalam bab
tersebut jelas kaitannya satu dengan lainnya. Dan, akan lebih memudahkan
pembaca bila semua kualitas, karakteristik, mindset, dll yang harus di
miliki oleh seorang superleader sudah dibahas di awal buku ini sehingga
tidak terjadi tumpang tindih pada bab selanjutnya.
Secara keseluruhan buku ini sudah mencakup teori kepemimpian secara
lengkap dan dapat membuka wawasan manajemen semua orang yang tertarik di
bidang ini. Perusahaan atau organisasi yang merencanakan lembaganya
lebih maju dan effektif dalam kinerjanya dan merencanakan perubahan,
juga bisa memanfaatkan buku ini. Pembahasan buku ini memang cenderung
diperuntukkan bagi pembaca atau perusahaan yang kemungkinan berminat
untuk memakai jasa para konsultan atau The JCG supaya memperolah
pendampingan yang baik.
|