Ini kisah persahabatan
dua anak manusia. Yang seorang adalah putra presiden, yang lain pemuda
rakyat jelata bernama Pono. Persahabatan ini sudah terjalin sejak mereka
masih di bangku sekolah. Pono punya kebiasaan yang kadang
menjengkelkan. Apa pun peristiwa yang terjadi di depannya selalu
dianggap positif. "Itu Baik!" katanya senantiasa.
Hari itu seperti yang sering mereka lakukan, Pono menemani sahabatnya berburu. Tugasnya membawa senapan dan mengisi peluru agar selalu siap digunakan. Entah kenapa, barangkali belum terkunci secara sempurna, setelah diserahkan kepada sahabatnya senapan itu meletus. Akibatnya cukup fatal.Ibu jari putra presiden terkena terjangan peluru dan putus. Melihat itu Tanpa sadar dengan kalemnya Pono berkomentar. "Itu Baik!" Kontan sahabatnya naik pitam. "Bagaimana Kau ini! Jempolku putus tertembak, malah dibilang Baik. Brengsek!" Agaknya, kali ini kelakuan Pono tak termaafkan. Ia dijebloskan ke penjara.
Beberapa
bulan kemudian, sang putra presiden kembali pergi berburu ke Afrika.
Malang, ia tersesat di hutan lebat dan ditangkap suku primitif yang
masih kanibal. Malam harinya, dalam keadaan terikat ia akan dibakar
untuk disantap ramai-ramai. Anehnya, mendadak ia dibebaskan. Belakangan
ketahuan, suku tersebut pantang memangsa makhluk yang organ tubuhnya
tidak lengkap.
Nasib
baik itu membuat sang putra presiden termenung. Ia teringat kembali
peristiwa ketika jempolnya putus tertembak lantaran ulah Pono. Ia
kemudian menemui Pono di penjara.
"Ternyata Kau benar. Ada baiknya jempolku tertembak," katanya sambil menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya di Afrika. "Aku menyesal telah memenjarakanmu."
"Oh, tidak!' Bagiku, ini Baik!"
"Bagaimana kau ini? Memenjarakan teman kau bilang baik?"
"Kalau aku tidak dipenjara, pasti saat itu aku bersamamu."
"Ternyata Kau benar. Ada baiknya jempolku tertembak," katanya sambil menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya di Afrika. "Aku menyesal telah memenjarakanmu."
"Oh, tidak!' Bagiku, ini Baik!"
"Bagaimana kau ini? Memenjarakan teman kau bilang baik?"
"Kalau aku tidak dipenjara, pasti saat itu aku bersamamu."
Kisah
satir ini mengingatkan pada pernyataan Randolph Bourne, intelektual
Amerika yang juga anak didik John Dewey. Katanya, seorang teman itu
memang dipilih untuk kita berdasarkan hukum perasaan yang tersembunyi,
bukan oleh kehendak sadar kita si manusia.