Berbagai analisa penyebab jatuhnya pesawat Sukhoi Super Jet 100 yang menghantam tebing di kawasan Gunung Salak, pada Rabu (9/5/2012) lalu, muncul dari berbagai pihak. Ada yang mengaitkan dengan nuansa mistik, ada pula yang melihat dari sudut pandang ilmiah. Namun, analisa paling gres berdasarkan data ilmiah disampaikan oleh Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, Sabtu (12/5/012). Ia memperkirakan, Sukhoi menabrak tebing Gunung Salak saat menghindari awan Cumulo Nimbus yang menjulang setinggi 37.000 kaki (11,1 km). “Logika sederhananya, pilot akan mencari jalan keluar yang paling aman. Namun menaikkan pesawat untuk mengatasi awan mungkin dianggap terlalu tinggi, dari 10.000 kaki harus terbang melebihi 37.000 kaki. Karena itu, pilihannya hanya mencari jalan ke kanan, kiri, atau bawah,” paparnya.
Karena itu, pilihan minta izin menurunkan ke 6.000 kaki, menurut Thomas, mungkin juga didasarkan pertimbangan ada sedikit celah yang terlihat di bawah, tetapi terlambat memperhitungkan risiko yang lebih fatal karena di ketinggian itu terdapat banyak gunung. Thomas mencatat, data MTSAT menunjukkan bahwa sekitar waktu kejadian, awan di sekitar Gunung Salak memang tampak sangat rapat dengan liputan awan lebih dari 70 persen. Analisis indeks konveksi yang bisa menggambarkan ketinggian awan juga menunjukkan indeks sekitar 30 yang bermakna adanya awan Cb (Cumulo Nimbus) yang menjulang tinggi sampai sekitar 37.000 kaki (11,1 km). Data satelit itu memberi gambaran bahwa saat kejadian, pesawat dikepung awan tebal yang menjulang tinggi. Pada saat sebelum jatuh itu, diinformasikan pesawat turun dari ketinggian 10.000 kaki (3 km) ke 6.000 kaki (1,8 km), padahal tinggi gunung Salak sekitar 2,2 km.
Namun Thomas menegaskan bahwa analisis ini hanya berdasarkan data satelit cuaca, sekadar untuk memberi jawaban sementara berdasarkan data, bukan berdasarkan spekulasi yang tak berdasar. “Analisis komprehensif tentang faktor lainnya tentu kita nantikan dari analisis rekaman penerbangan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), walau tentu saja factor cuaca tetap tak dapat dikesampingkan,” katanya.
Sementara itu, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT Syamsul Bahri yang ditemui mengatakan, saat berada di dalam kepungan awan, seorang pilot memiliki risiko yang tinggi untuk tiba-tiba naik atau tiba-tiba turun. “Karena itulah, setiap pilot selalu menghindari awan untuk menghindari risiko ini dengan terbang jauh di atas liputan awan. Namun mungkin si pilot belum menguasai medan yang berat ini,” kata pria yang berpengalaman menerbangkan pesawat untuk layanan modifikasi cuaca itu.
Sebelumnya beredar analisa bahwa penyebab jatuhnya pesawat karena terganggu oleh sinyal telepon seluler. Analisa yang dibuat Seand Munir, yang ditayangkan Kompasiana, itu mendasarkan pada info bahwa ponsel milik dua wartawan Majalah Angkasa, Dodi Aviantara dan Didik Yusuf masih aktif selama pesawat mengangkasa. Namun, info tersebut dibantah pihak redaksi Majalah Angkasa, yang mengaku sudah mengecek ke pihak provider dan ahli telematika. Merasa disudutkan oleh info tersebut, maka manajemen majalah Angkasa langsung membuat klarifikasi resmi. “Sehubungan banyaknya beredar informasi tentang aktivasi ponsel di pesawat Sukhoi dari wartawan Majalah Angkasa, kami sudah melakukan pengecekan ke operator seluler dan ternyata ponsel atas nama Dody Aviantra (wartawan Angkasa) mendapatkan sinyal terakhir di Bandara Halim Perdanakusuma pukul 14.16 WIB,” ungkap Pemimpin Redaksi Majalah Angkasa, Adrianus Darmawan.
Tentang infomasi bahwa aktivasi ponsel pada pukul 17.00 WIB atas nama wartawan Angkasa, menurut Adrianus, hal itu tidak benar. Pihak Angkasa menyatakan bahwa mereka sangat menyesalkan desas-desus tersebut. “Kami tidak tahu sumber berita ini muncul dari mana dan motivasinya apa. Kami sangat tidak terima dengan kabar ini. Kami sudah mengecek pada pihak provider dan ahli telematika yang menyatakan bahwa ponsel mereka sudah tidak aktif saat penerbangan itu berlangsung,” ujar Adrianus.
Menurut Adrianus, kabar itu telah membuat sedih keluarga kedua wartawan Angkasa. “Keluarga korban juga sangat menyanggah berita tersebut,” Adrianus nenambahkan.
Akibat Hempasan Angin?
Selain analisa ala pengamat ponsel, muncul pula pandangan dengan melihat pengaruh angin seperti disebutkan dalam laman indocropcircle.com. Menurut penulis di laman tersebut, karena merupakan penerbangan perkenalan, bisa jadi sang pilot ingin menunjukkan performa maksimal dari pesawat dengan melakukan manuver secara ‘push to the limit’. Artinya, sang pilot akan menunjukkan kelebihan dari pesawat, misal manuver seperti menukik, berbelok ataupun naik tinggi secara ‘tak biasa’. Namun karena kondisi cuaca yang tidak diprediksi sebelumnya, akhirnya berakibat fatal: pesawat menghantam tebing. Pesawat terlempar atau terdorong oleh angin samping dari sisi gunung Salak yang selalu berubah-ubah setiap saat dan membuat pesawat melenceng dari jalur yang telah ditetapkan. Meskipun pada awalnya rute tetap normal, namun berubah secara perlahan akibat adanya angin dari arah antara selatan dan membuat pesawat melenceng dari jalur dan mendekati puncak gunung Salak.
Tapi dengan kondisi seperti itu pasti warning alarm di cockpit akan berbunyi dan pilot akan dapat mengantisipasinya. Dalam komunikasi via radio terakhir, atau 20 menit setelah lepas landas, pilot meminta izin kepada menara Bandara Soekarno Hatta untuk menurunkan ketinggian dari 10.000 ribu kaki (3.000 meter) menjadi 6.000 ribu kaki (1.800 meter). Bisa jadi, seperti disebutkan oleh pihak LAPAN, pilot bermaksud menghindari awan cumulo nimbus. Pilot pun memilih menukik ke bawah dan mendekati puncak gunung untuk menghindari awan tebal itu yang disebut cumulo nimbus.
Mestinya, warning alarm pada cockpit berbunyi. Tapi entah mengapa diabaikan pilot. Sangat mungkin sang pilot ingin show skill dan show performs pesawat canggih ini dengan melakukan gerakan menanjak ke atas puncak gunung Salak dengan melipir tebing gunung. Namun karena adanya angin dari arah kiri dan kanan, atau terdorong angin dari arah belakang, membuat pesawat sulit bergerak ke atas. Pesawat tidak lagi memiliki dorongan mesin yang normal (lost power) untuk menanjak dan ke puncak Gunung Salak. Akhirnya pesawat membentur tebing jurang.
Minim Persiapan
Dari kubu Rusia berkembang pandangan lain. Menurut analisa para pakar di Rusia, pesawat Superjet, atau secara resmi disebut ‘Sukhoi Superjet 100′ adalah pesawat penumpang satu-satunya yang dirancang dan dibangun di Federasi Rusia. Semua penerbangan Rusia lain dirancang sebelum jatuhnya Uni Soviet. Pemerintah Rusia ingin sekali menunjukkan bukti bangkitnya industry penerbangan Rusia yang terganggu menyusul hancurnya Uni Soviet. Memang para pakar mengkritik pesawat itu terkait sejumlah masalah kecil. Toh, sejauh ini tidak pernah ada yang meragukan keselamatan atau fungsi pesawat itu. Keprihatinan utama adalah bahwa Superjet itu memerlukan landasan yang telah disiapkan dengan benar, yang hanya tersedia sedikit di Rusia.
Pesawat baru ini melakukan penerbangan perdana bulan April 2011. Sejak itu, Sukhoi Superjet hanya mengalami sejumlah masalah kecil, dan semuanya terkait dengan alat pendaratan. Nah, sebelum jatuh berkeping-keping, Sukhoi komersial itu menjalani tur keliling Asia. Tur promosi Superjet ini adalah yang pertama dengan pilot profesional dan berpengalaman. Disebutkan dalam tur itu bahwa kemampuan para awak Sukhoi selalu diandalkan dan hanya sedikit yang meragukan. Tak pelak, kecelakaan di Bogor menjadi pukulan psikologis yang telak bagi keseluruhan industry penerbangan Rusia.
Sejauh ini memang belum diketahui penyebab kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak. Namun Mogomed Tolboev, salah seorang pilot terbang demo terbaik di Rusia, meyakini bahwa kecelakaan di Bogor itu lantaran kurang persiapan penerbangan. “Terbang demo itu dilakukan di kawasan pegunungan yang sangat sulit,” katanya kepada media Rusia. Ia membandingkan kecelakaan Superjet dengan kecelakaan dengan korban tim aerobotik Rusia yang disebut ‘Ksatria Rusia’.
Pada tahun 1995, tiga jet tempur dari unit ini kembali dari air show di Malaysia. Mereka merencanakan untuk mendarat di Vietnam, di pangkalan militer Rusia di sana, dan jatuh di kawasan pegunungan. Pada saat itu, penyelidikan menunjukkan kecelakaan terjadi karena buruknya persiapan penerbangan. Menurut Mogomed, bisa jadi, kali ini juga disebabkan oleh hal yang sama.
Kesalahan Pilot?
Sementara itu, harian terkemuka Rusia Izvestia pada Jumat (11/5/2012) mengungkap kesimpulan sementara dari sebuah ujicoba menggunakan simulator pesawat sejenis di pusat pelatihan pilot di Zhukovsky, tak jauh dari Moskow. Hasil dari ujicoba tersebut menduga sistem peringatan kondisi area penerbangan atau Terrain Awareness and Warning System (TAWS) yang terpasang di kokpit Sukhoi Superjet 100 harusnya memberikan peringatan atau informasi kepada pilot. Sistem ini otomatis bekerja mendeteksi kondisi geografis yang mungkin menjadi rintangan dalam sebuah penerbangan Sukhoi SJ 100 tersebut. “Anda tidak bisa mengabaikan sinyal peringatan. Jika bahaya terjadi, sistem akan menampilkan pesan peringatan,” ujar salah seorang sumber yang tak disebutkan namanya.
Menurut sumber tersebut, selain indikator dalam bentuk lampu merah peringatan, isyarat juga keluar dengan pesan suara. “Selain itu, sistem secara otomatis dapat mengintervensi untuk mencegah pesawat dari tabrakan,” tambahnya. Sumber tersebut menduga pilot pesawat telah mematikan sistem peringatan saat musibah terjadi untuk berbicara dengan para penumpang. Sementara ahli lain dari pusat pelatihan pilot tersebut memperkirakan, bisa jadi pilot tidak memperhatikan sistem peringatan yang selalu menyala di aeal perbukitan. Namun demikian, tidak semua ahli sepakat dengan kesimpulan ujicoba pada simulator ini. Seorang pakar keselamatan penerbangan lainnya mengatakan, uji coba pada simulator tidak bisa memberikan gambaran keseluruhan peristiwa tragis tersebut. “Pengujian dengan pesawat sesungguhnya hanya mungkin dilakukan setelah penemuan dan penguraian data rekaman penerbangan pesawat tersebut,” ungkap pakar dari Pusat Penelitian Penerbangan Sipil Rusia itu, seperti ditulis kantor berita Prime News.
Sementara pakar lainnya sepakat mengenai Sistem Peringatan jalur penerbangan menjadi titik kritis dalam kasus ini. “Ada tiga kemungkinan, pertama (sistem) tersebut tidak bekerja, kedua (sistem) tersebut dimatikan atau mereka (pilot dan co pilot) tidak memperhatikannya, dan ketiga (sistem) tersebut memberikan indikasi yang keliru,” ujarnya.
Sebelumnya, indikasi human error ini pertamakali disebutkan oleh Wakil Perdana Menteri Rusia Dmitry Rogozin, Kamis (10/5/2010) lalu. Pendapat Rogozin ini berdasar keterangan ahli setempat mengenai musabab musibah itu.
Apapun analisa yang berkembang, kunci jawabannya ada pada data penerbangan yang tersimpan pada Black Box pesawat. Ini menjadi tantangan untuk mengungkap misteri jatuhnya Sukhoi, tanpa diembel-embeli kata kira-kira, kemungkinan, boleh jadi, kurang lebih, jangan-jangan, dan sederet ungkapan lain pertanda ketidak pastian.
|