twitter
rss

Adalah merupakan suatu kenyataan, bahwa kesadaran kebangsaan di Indonesia bukanlah berasal dari massa rakyat di tingkat akar rumput, tetapi merupakan hasil refleksi dan komitmen dari segelintir kaum terpelajar muda yang beruntung mengenal ideologi politik modern barat, baik secara langsung melalui pendidikan barat, maupun secara tidak langsung melalui pendidikan Islam modern di Timur Tengah.

Pengenalan ini dipermudah oleh karena penguasaan bahasa-bahasa barat yang lumayan baik sejak tingkat sekolah menengah pertama, baik bahasa Belanda, Inggris, Perancis maupun Jerman. Hampir tanpa kecuali, gelombang pertama kaum terpelajar ini sangat mahir dengan literatur filsafat dan ideologi politik barat, seperti kolonialisme, imperialisme, nasionalisme, fasisme, naziisme, sosialisme, marxisme, dan komunisme. Mereka bukan saja mampu membaca, tetapi juga mampu menulis dengan baik dalam bahasa-bahasa barat tersebut.

Bersisian dengan kaum terpelajar berpendidikan barat tersebut adalah kaum modernis Islam (Sumatera Barat disebut sebagai Kaum Muda) yang menganut ajaran Syech Muhammad Abduh dan Syeh Muhammad Rasyid Ridha. Sambil berjuang untuk menyegarkan dan memajukan pemahaman umat mengenai ajaran Islam yang dirasakan sudah jumud. Kaum modernis Islam ini juga menerima dan menyebarkan paham kebangsaan modern yang ditimba mereka dari literatur Barat dan Timur Tengah.

Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa kaum modernis Islam ini merupakan sayap lain dari gerakan kebangsaan di Indonesia. Mereka mendirikan, menggerakkan dan memimpin berbagai organisasi massa dan partai politik, yang secara bersama-sama mengembangkan kesadaran kebangsaan di tengah massa rakyat, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Nahdlatul Ulama.

Adalah merupakan suatu kenyataan, bahwa kesadaran kebangsaan di Indonesia bukanlah berasal dari massa rakyat di tingkat akar rumput, tetapi merupakan hasil refleksi dan komitmen dari segelintir kaum terpelajar muda yang beruntung mengenal ideologi politik modern barat, baik secara langsung melalui pendidikan barat, maupun secara tidak langsung melalui pendidikan Islam modern di Timur Tengah.

Pengenalan ini dipermudah oleh karena penguasaan bahasa-bahasa barat yang lumayan baik sejak tingkat sekolah menengah pertama, baik bahasa Belanda, Inggris, Perancis maupun Jerman. Hampir tanpa kecuali, gelombang pertama kaum terpelajar ini sangat mahir dengan literatur filsafat dan ideologi politik barat, seperti kolonialisme, imperialisme, nasionalisme, fasisme, naziisme, sosialisme, marxisme, dan komunisme. Mereka bukan saja mampu membaca, tetapi juga mampu menulis dengan baik dalam bahasa-bahasa barat tersebut.

Bersisian dengan kaum terpelajar berpendidikan barat tersebut adalah kaum modernis Islam (Sumatera Barat disebut sebagai Kaum Muda) yang menganut ajaran Syech Muhammad Abduh dan Syeh Muhammad Rasyid Ridha. Sambil berjuang untuk menyegarkan dan memajukan pemahaman umat mengenai ajaran Islam yang dirasakan sudah jumud. Kaum modernis Islam ini juga menerima dan menyebarkan paham kebangsaan modern yang ditimba mereka dari literatur Barat dan Timur Tengah.

Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa kaum modernis Islam ini merupakan sayap lain dari gerakan kebangsaan di Indonesia. Mereka mendirikan, menggerakkan dan memimpin berbagai organisasi massa dan partai politik, yang secara bersama-sama mengembangkan kesadaran kebangsaan di tengah massa rakyat, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Nahdlatul Ulama.

Rasanya adalah antropolog Clifford Geertz (1963) yang pertama kali menyimpulkan bahwa esensi masalah yang dihadapi oleh para nation-and state-builders pasca Perang Dunia Kedua adalah bagaimana merangkai masyarakat atau komunitas lama menjadi suatu negara baru. 

Nation and state-building (pembangunan sebuah bangsa) selain pada dasarnya merupakan suatu rekayasa struktur politik, juga akan memerlukan adaptasi kultural terencana, baik di kalangan elite pendiri negara maupun di kalangan massa yang hidup di akar rumput.

Memang ada perbedaan menyolok antara negara-negara nasional lama di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang perkembangan struktur politiknya di tingkat suprastruktur sudah merefleksikan budaya politik masyarakatnya di tingkat insfrastruktur dengan negara-negara baru di Asia dan Afrika, yang struktur politiknya seakan-akan merupakan suatu cangkokan dari luar, yang terpisah dan terasing dari budaya politik masyarakatnya.
Adalah menarik untuk diperhatikan, bahwa di Indonesia baik tokoh-tokoh kaum pergerakan dalam paruh pertama abad ke 20, maupun pada pendiri Negara serta pemimpin-pemimpin pemerintahan dalam paruh kedua abad itu, meletakkan kepercayaan yang amat besar pada pendekatan filsafat dan ideologi politik yang amat abstrak serta pada peranan dari tokoh-tokoh kharismatis, dan bukannya pada menyusun dan mengembangkan suatu kerangka struktur politik yang mampu mengakomodasi dan mendayagunakan potensi kemajemukan rakyat itu untuk kepentingan bersama (Bahar, 1996, 1998, 2002, 2003).
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan filsafat dan ideologi politik, betapa pun idealnya, dan kharisma tokoh-tokoh pemimpin besar, betapapun memukaunya, ternyata tidak banyak membantu mewujudkan terciptanya suatu negara yang efektif dalam mewujudkan dua tugas tradisionalnya, yaitu menjamin keamanan dan memenuhi kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Setelah merdeka lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia bukan saja mendapatkan dirinya sebagai bangsa yang terpecah belah dan sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan, tetapi juga*dengan sumber daya alam yang semakin menipis dalam suatu lingkungan yang sudah amat rusak, baik di darat, di laut, maupun di udara, tetapi juga dengan pemerintahan yang amat terfragmentaris, karena itu tidak mampu mengambil prakarsa dalam bidang apa pun juga.