Rasanya adalah antropolog Clifford Geertz (1963) yang pertama kali menyimpulkan bahwa esensi masalah yang dihadapi oleh para nation-and state-builders pasca Perang Dunia Kedua adalah bagaimana merangkai masyarakat atau komunitas lama menjadi suatu negara baru.
Nation and state-building (pembangunan sebuah bangsa) selain pada dasarnya merupakan suatu rekayasa struktur politik, juga akan memerlukan adaptasi kultural terencana, baik di kalangan elite pendiri negara maupun di kalangan massa yang hidup di akar rumput.
Memang ada perbedaan menyolok antara negara-negara nasional lama di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang perkembangan struktur politiknya di tingkat suprastruktur sudah merefleksikan budaya politik masyarakatnya di tingkat insfrastruktur dengan negara-negara baru di Asia dan Afrika, yang struktur politiknya seakan-akan merupakan suatu cangkokan dari luar, yang terpisah dan terasing dari budaya politik masyarakatnya.
Adalah menarik untuk diperhatikan, bahwa di Indonesia baik tokoh-tokoh kaum pergerakan dalam paruh pertama abad ke 20, maupun pada pendiri Negara serta pemimpin-pemimpin pemerintahan dalam paruh kedua abad itu, meletakkan kepercayaan yang amat besar pada pendekatan filsafat dan ideologi politik yang amat abstrak serta pada peranan dari tokoh-tokoh kharismatis, dan bukannya pada menyusun dan mengembangkan suatu kerangka struktur politik yang mampu mengakomodasi dan mendayagunakan potensi kemajemukan rakyat itu untuk kepentingan bersama (Bahar, 1996, 1998, 2002, 2003).
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan filsafat dan ideologi politik, betapa pun idealnya, dan kharisma tokoh-tokoh pemimpin besar, betapapun memukaunya, ternyata tidak banyak membantu mewujudkan terciptanya suatu negara yang efektif dalam mewujudkan dua tugas tradisionalnya, yaitu menjamin keamanan dan memenuhi kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Setelah merdeka lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia bukan saja mendapatkan dirinya sebagai bangsa yang terpecah belah dan sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan, tetapi juga*dengan sumber daya alam yang semakin menipis dalam suatu lingkungan yang sudah amat rusak, baik di darat, di laut, maupun di udara, tetapi juga dengan pemerintahan yang amat terfragmentaris, karena itu tidak mampu mengambil prakarsa dalam bidang apa pun juga.