twitter
rss

Aku suka memandangi langit biru, karena ia cerah merekah mengisyaratkan keceriaan. Namun, aku tak suka melihat langit tatkala ia kelabu, karena ia terlihat sendu, semu dan membuat jenuh. Maka, aku selalu berharap langit kan selalu biru, bukan kelabu.
Aku bahagia, karena hari ini awan biru, sangat biru, cerah, merekah merona, membuat hari hariku bersamamu semakin indah. Dan, harus ku ulangi setiap hari, bahwa Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Untuk itu Aku sangat bahagia tatkala mendengar desah nafasmu ketika Kau terlelap tidur, Aku sangat bahagia ketika aku di buat sibuk melayani hari harimu. karena, Aku ingin menjadi sosok sempurna di matamu, walaupun sesungguhnya Aku sangat tak sempurna, untuk itu, maafkan Aku Suamiku!.
Ketika Aku kecil, Aku adalah anak penurut, setiap kata yang terucap dari bibir Bapak bagiku itu adalah titah yang wajib di dengar dan di laksanakan perintahnya, mungkin saat itu, bapak ibuku bersyukur memiliki anak sepertiku.
Hingga saat aku lulus Sekolah Dasar, Aku di kirim Bapak ke salah satu Pesantren tersohor di Jawa Timur. Aku menurut saja, walau sebenarnya, ada rasa tak terima di hatiku, karena Aku tak ingin jauh dari ibuku, Aku tak ingin tinggal sendirian tanpa di temani seorang keluarga di sana. Namun, apalah daya, Aku adalah anak yang harus menuruti semua perintah Bapak, maka ku anggap inilah pilihan dan jalan yang terbaik dan harus kujalani.
Selanjutnya, ku jalani hari hari tanpa gairah di Pesantren. jiwa dan ragaku diam, namun fikiranku melayang, membayangkan suasana rumah, membayangkan apa yang sedang di lakukan Bapak dan Ibuk tatkala Aku sibuk belajar, mengaji, mengaji dan mengaji, tak ada yang lain. Maka, muncullah hasil dari hari hariku yang tak bergairah menimba ilmu di pesantren dengan surat keputusan bahwa Aku tidak naik kelas. Tuhan bantulah Aku, harus bagaimana Aku menjawab pertanyaan Bapak, harus bagaimana Aku mempertanggung jawabkan semua kesalahanku.aku takut ya Rabb.
Hari hari yang ku lalui semakin sulit, Aku ketakutan, Aku gelisah, setiap kali terbayang wajah Bapak Aku semakin takut, hingga badanku menggigil tak karuan. Dua hari yang akan datang Bapak dan Ibu akan mengunjungiku ke sini, aku semakin ketakutan, membayangkan betapa marahnya Bapak nanti ketika mengetahui bahwa Aku tidak naik kelas, kemudian terlintas di benak fikirku “udah Lia, pergi aja dari Pesantren, kamu bisa bebas, hidup bebas tanpa kekangan, kamu bisa bebas dari amukan Bapakmu ketika nanti ia tau kalau kamu ngga naik kelas”, rupanya setan berhasil meracuni fikiranku, dan aku mulai bersiap siap tuk menjalankan aksiku, mungkin separuh otakku sudah kehilangan kewarasannya.
Takut, takut, takut, hanya itu yang ada di benakku, maka satu satunya jalan ialah aku harus pergi, agar aku tak bertemu dengan bapak. Maka, siang itu, tatkla semua teman temanku sibuk belajar, aku pergi ke kamar mandi, karena tadi pagi sengaja aku menrauh tas yang berisi baju bajuku disana, dan akupun keluar dari gerbang sekolah, hingga keluarlah aku dari batas zona santri. Aku bebas pekikikku girang dalam hati!
Sepanjang perjalanan, aku tak memikirkan kemanakah kaiku kan menapak, aku hanya memikirkan tentang bagaimana bisa bebas dari amukan bapak,karena aku sangat takut untuk menghadipnya, hingga aku tak memikirkan sedikitpun tentang arahku melangkah, aku terus saja berjalan. Hinga malam datang, baru kusadari bahwa aku berjalan tanpa arah, aku tak punya tujuan, maka kuputsukan malam itu untuk menginap di suatu masjid, sepi sunyi, dingin, dan akupun tertidur sebab terlalu capek.
Adzan subuh mambangunkanku, aku beranjak wudlu dan segera sholat. Setelah sholat aku mulai berfikir bahwa di daerah ini masih belum aman, karena ini terlalu dekat dengan pesantren dan bapak serta keluarga pasti masih bisa menjangkau dan bisa menemukanku, seketika itu setan mulai menghasud fikiranku ”kenapa ngga ke surabya aja?, itu kota besar, pasti bapakmu akan kebingungan jika mencari disana”, maka dengan segera aku Tanya ke kanan kiri bagaiman rute tuk menuju Surabaya.
Setelah 5jam perjalanan, sampailah aku di Kota Surabaya, aku ling lung, aku tak tahu kemana kakiku melangkah, dan uangku sangat menipis, aku harus melakukan sesuatu untuk bertahan lebih lama lagi. Kurasakan cacing cacing di perutku mulai meronta meminta makan, kemudian di seberang jalan kulihat ada warung kecil, segera aku berjalan menujunya, dan aku pesan 1 porsi nasi pecel, ibu pemilik warung itu masih belum terlalu tua, bisa di tebak dari raut wajahnya mungkin ia masih kepala empat, ia cantik dan ber make up tebal “aneh, jualan nasi aja kok tebel banget make up nya” kata hatiku. “neng bukan warga sini ya? Kok wajahnya asing, bawa tas gede lagi!” Tanya ibu itu, kemudian aku tersenyum dan menjawab”hehe, iya bu, saya bukan orang sini”, “terus, kesini mau ngapain neng?” Tanya ibu itu lagi, “eh, saya pingin kerja di sini bu, tapi belum tahu kerja apa” jawabku polos, kemudian ibu itu tersenyum nyengir sambil bisik bisik dengan lelaki paruh baya di sampingnya, entah suaminya atau apa, aku tak tahu.
“yaudah neng, mau kerja sama saya aja?” tawar ibu itu, aku senang bukan main ketika mendengar kata kerjaan, maka dengan cepat aku menjawab “iya bu, saya sangat senang sekali, saya mau kerja apa aja yang penting halal dan bisa buat saya bertahan hidup disini”. Saat itu, jadilah aku pembantu di warung kecil itu, aku membantu semua pekerjaan yang aku bisa melakukannya, mulai dari mencuci piring, menggoreng ikan, sampai melayani pembeli. warung itu buka hingga dini hari, dan anehnya semakin malam semakin ramai pengunjung warung kecil ini, dan pembelinya rata rata adalah lelaki, aku tak berani bertanya walau satu pertanyaan pun, maka kusimpan baik baik semua pertanyaanku dalam hati.
Hari hari yang kujalani membuat aku capek, dan aku mulai merindukan ibu bapak, aku merindukan suasana pesantren, aku mulai berfikir betapa bodohnya aku, hanya karena ketakutan akan amukan bapak, aku malah pergi dan akhirnya aku susah sendiri. Aku membayangkan, betapa bingungnya bapak dan ibuk mencari keberadaanku, aku mulai meratapi ketidak warasanku
Gajian dari warung ini hanya sedikit, namun untungyna aku tidur dan makan ikut mbak Nilam, ibu ibu pemilik warung ini yang kini ku panggil mbak agar lebih akrab. Maka ku sampaikan keluh kesahku tentang gajianku yang hanya 150 ribu tiap bulan, karena bagiku, ini tak sebanding dengan kerjaku yang di mulai petang hingga malam. “yaudah, kalo mau cari kerja yang lain silahkan keluar!, saya hanya kuat bayar segitu, atau kalau kamu pingin gaji gede ada satu pekerjaan untukmu” mendengar gaji gede aku langsung semangat “kerja apaan mbak?” “jadi tukang pijit urat di tempat teman saya” jawab mbk nilam “tapi saya ngga bisa mijit Mbak” jawabku, “gampang, nanti kamu disana bakal di training sampai kamu bisa”, maka, kuterima tawaran kerja jadi tukang pijit urut itu.
Mulai dari itu, pindahlah aku dari tangan mbak nilam ke tangan Mbak Yosi, majikan baruku, tempat dimana aku kan bekerja sebagai buruh pijat. Malam menjelang, pasien pijatnya sangat banyak, “laris sekali tempat pijatan Mbak Yosi ini ya”, gumamku dalam hati, dan rata rata pasiennya adalah laki, laki, namun, di ruangan ini tak semuanya laki laki, ada beberapa wanita dengan rok mini serta baju ketat yang menutupi, aku mulai curiga dengan tempat ini, tapi apalah daya, aku sudah terikat dengan tempat ini, karena aku sudah menerima DP dari gajianku bulan depan.
Masa trainingku memang benar benar belajar memijat, hingga aku di nyatakan sudah bisa dan mulai nanti malam aku sudah boleh mulai bekerja, “Lia, mulai nanti malam kamu sudah bisa mijit ya” kata Mbak Yosi “ iya mbk, tapi saya takut nanti salah urat mbk, kan saya belum paham betul tentang miit urat” jawabku polos. Kemudian, Mbak Yosi tersenyum dan berkata “yaudah, lakuin sebisanya, dan lakuin semua yang di minta pasien kamu nanti” “iya Mbak” jawabku.
Malam mulai menjelang, aku di beri pakaian oleh Mbak Yosi, katanya biar pelangganku nanti bisa nyaman ketika di pijit, dan anehnya baju itu adalah rok mini dengan tank top yang ketat, aku tak tahu apa apa dan aku takut tuk bertanya. “Lia, pasien kamu datang, kamu siap siap di kamar ya” seru Mbak Yosi.
Selanjutnya, aku hanya bisa meratapi semua terjadi dengan diriku, ada sesal menyeruak seakan akan memenuhi rongga dadaku, hingga nafasku sesak, suaraku tertahan. “Rabbi, ampunilah semua dosa dosaku, ampuni aku bapak, ibu!” pekikku memecah keheningan malam, ternyata aku baru mengetahui arti sebenarnya dari pekerjaanku sebagai tukang pijit. Namun, apa daya, aku sudah terikat dengan mbak Yosi, dan jika aku melanggar perjanjian maka aku harus mengembalikan DP yang telah di berikan Mbak Yosi kepadaku 5x lipat. Dan aku tak punya uang sebanyak itu.
Hari hari selanjutnya, aku pun mulai menikmati pekerjaan ini, aku terbuai oleh dunia, mataku di butakan dengan uang haram, dan aku berfikir bahwa Allah telah membenciku, karena aku sudah banyak dosa, maka biarlah aku tetap menjalani pekerjaanku ini, karena diriku sudah terlanjur kotor dan hina.
5 tahun kujalani hidup di Surabaya, hingga suatu saat aku merasa jenuh dengan suasana dan pekerjaanku. Kemudian, akupun diam diam keluar dari tempatku bekerja dengan membawa semua barang barangku, serta semua uang haramku yang melimpah. “aku ingin pulang” seruku dalam hati. Sesampainya di rumah, betapa kagetnya bapak dan ibu melihat kedatanganku, kulihat mereka beranjak tua, ada garis keriput di wajahnya, “Tuhan, ampuni segala dosa dosaku, mulai sekarang aku berjanji akan menebus semua dosa dosaku terhadap bapak dan ibu, aku akan selalu menemaninya”.
Ketika bapak, ibu dan semua saudara saudaraku bertanya tentang kegiatan serta pekerjaanku di surabya, aku menjawab bahwa aku bekerja menjdai SPG di salah satu toko kosmetik terkenal, dan mereka pun percaya. Hingga suatu saat, datanglah lelaki kerumah menemui bapak, dan lelaki itu bilang kalau ia berniat menikahiku.
Aku menerima lamaran itu, dan bapak pun mengangguk setuju. Namun, ada sesal di hatiku, lelaki itu adalah lelaki baik baik, sedangkan aku adalah wanita hina yang mencoba menutupi semua kejelekanku dengan kebohonganku, dengan semua cerita palsuku.
Hari pernikahan pun tiba, betapa bahagianya aku, karena baru sekarang aku merasakan jatuh cinta, dan tulusnya sebuah perasaan. Akupun mulai menangis sesenggukan mengingat semua masa lalu hinaku. “kenapa kamu menangis?” Tanya suamiku, aku hanya diam. Kemudian, suamiku memelukku erat, hangat. Baru kali ini aku merasakan pelukan sehangat ini, meskipun sebelumnya aku telah berpindah pindah dari pelukan lelaki ini ke lelaki yang itu dan seterusnya. “Rabbi, ampuni semua dosa dosaku, aku menyesal, sungguh menyesal” aku meratap tanpa lelah, berharap ampunan Nya kan selalu melimpah.
Hari hariku semakin terasa bahagia, karena aku sudah menceritakan semua masa laluku kepada suamiku, dan ia pun menerima dengan lapang dada masa laluku. Aku semakin mencintainya, dan aku ingin selalu menjadi sosok yang sempurna di matanya, walau sebenarnya kau sangat tidak sempurna, bahkan hina.
Tak terasa, tiga tahun sudah aku menjalani rumah tangga. Namun, aku tak kunjung di karuniai seorang anak, aku dan suamiku pun mulai cemas. Kemudian, hari itu kami sepakat tuk konsultasi ke dokter kandungan, betapa kagetnya aku, ketika aku di vonis positif HIV, tubuhku sudah terjangkit virus menghinakan itu. Dan, itu sudah menjalar di tubuhku sejak 4 tahun yang lalu. “rabbi, inikah balasan untuk semua masa laluku?” aku terdiam lesu di pelukan suamiku.
“mas, apakah kamu tak takut tertular penyakitku?” tanyaku kepada suamiku. “aku takut, sangat takut. Namun, rasa cintaku menutupi semua ketakutanku, dan aku berjanji tuk selalu menemanimu, bagaimanapun keadaanmu, karena aku suamimu, dan emngkau istriku” jawab suamiku mantab. Akupun semakin mencintainya, mengagumi kesabarannya.
Berita tentang penyakit yang ku derita pun menyebar hingga ke pelosok desa, meskipun kami sekeluarga berusaha menutupinya rapat rapat. Namun, apalah daya, inilah hukuman yang harus ku terima, aku dan suamiku di usir dari kampung. Sungguh, aku malu, melebihi rasa Maluku terhadap Mu ketika aku menjalani pekerjaan itu ya Rabb. Kemudian, aku dan suamiku pun memutuskan tuk menetap di rumah bapakku.
Hingga hari hariku terasa semakin lelah, tubuhku semakin melemah, virus virus itu sudah memakan semua tenagaku, aku tak kuasa melakukan apa apa. Kemudian, suamiku mengajak periksa ke dokter, agar mengetahui perkembangan penyakitku, apakah virus virus itu sudah menyerah setelah berbagai macam obat kutelan. Ternyata tidak, virus itu semakin menjalar. Dan bahkan suamiku positif tertular,” tuhan, cukup aku saja yang engkau hukum, kenapa kau biarkan virus hina itu menyerang tubuh suamiku yang tak berdosa” aku menangis sejadi jadinya, aku sangat menyesal, karena suamiku ikut merasakan akibat dari masa laluku.
“sayang, aku sudah lelah” kataku kepada suamiku. “sst, jangan bilang seperti itu, kita harus yakin kalau kita pasti sembuh” jawab suamiku, namun, aku semakin lelah, mataku berat tuk di buka.hingga aku merasa ada yang hilang dari ragaku, akupun terkulai lemas, diam pucat di pelukan suamiku.

Maafkan Aku, Suamiku
karena Aku meninggalkan awan kelabu di hidupmu.
padahal, Aku berharap agar awan biru selalu menanungi hidupku serta hidupmu.
namun, ini semua balasan atas masa lalu kelamku
maafkan Aku, karena telah membuatmu merasakan pahitnya cercaan orang
Aku hanya bisa berdoa semoga awan kelabu itu kan segera berlalu
dan berganti menjadi awan biru
agar kau bisa merasakan hidup tentram tanpa cercaan orang



sumber:
http://mieakarimah.blogspot.com



Ya Alloh,,,
ampuni semua dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku,
baik kecil atau besar, sengaja atau tidak, yang tampak atau yang tersembunyi,
sehatkanlah beliau,,,
rukunkan dan bahagiakanlah beliau dalam umur yang panjang dan penuh berkah.
baikkan dan lancarkanlah rezeki beliau,

Ya Alloh,,,
terjadikanlah perubahan yang baik pada  rezekiku,
buatlah aku segera tahu bahwa yang ku kerjakan ini tepat,
lancarkanlah aliran rezeki melalui pekerjaanku,
berkahkanlah tabunganku,
mampukanlah aku membiayai keluarga yang sejahtera, rukun, penuh cinta, dan panjang umur
dan mampukanlah aku secepatnya memberangkatkan kedua orang tuaku umroh + haji.
Aamiin,,,,