twitter
rss

“Jika kita tidak punya kedamaian, itu karena kita telah lupa

bahwa sesungguhnya kita semua saling memiliki.”

~ Bunda Teresa

Kali ini giliran Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, dan kali ke dua untuk JW Marriot mengalami ledakan bom setelah hampir 5 tahun kita semua hidup dalam suasana tenang dan kondusif. Pagi itu ketika saya baru tiba di kantor—dan baru mulai rapat dengan tim saya—tiba-tiba suami saya telepon dan mengabarkan tentang peledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Jakarta. Saya dan tim saya cukup shock meskipun kami tinggal jauh dari Jakarta. Tetapi, kami sering dinas ke Jakarta dan menginap di hotel tersebut. Demi mendengar berita tersebut, ada banyak hal berkecamuk di pikiran kami masing-masing.

Siapa yang tega melakukan hal itu dan mengapa? Apa tujuan dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh pelakunya? Kesenjangan, ketimpangan, atau keterpurukan apakah yang menyebabkan hal ini terjadi? Arogansi apa yang sudah kita semua lakukan sampai menyebabkan mereka membalas dengan melakuan hal itu? Rasa kepahitan apa yang mereka derita sehingga tega mengorbankan kehidupan banyak orang, termasuk kehidupannya sendiri? Adakah jurang perbedaan yang besar, baik ideologi, sandang, dan papan? Adakah kemiskinan harta dan cinta kasih? Apa paradigma yang ada pada pelaku?

Dari sisi korban pengeboman maupun sanak keluarga korban, tentunya ada rasa sedih, marah, dendam, khawatir, kecewa, dan perasaan lainnya. Kenapa kok kami yang tidak mengerti apa-apa menjadi korban? Bagaimana kehidupan kami selanjutnya? Bagaimana trauma ini dapat dihilangkan?

Masih segar di ingatan kita semua tentang Bom Bali I dan Bom Bali II, yang mana sampai sekarang para korban dan keluarganya masih berjuang melawan trauma-trauma psikologis, berjuang menata kehidupan secara total, dan belum dapat kembali seperti semula.

Bumi tercinta ini cuma ada SATU, dan semua kehidupan manusia tergantung pada bumi yang satu ini. Kita semua saling tergantung dan saling memiliki satu sama lain. Ini yang tidak boleh di lupakan seperti, kata Bunda Teresa. Dengan segala perbedaan yang ada pada setiap penghuni bumi, diperlukan suatu sikap toleransi yang memadai agar bumi menjadi tempat yang layak dan enak untuk ditinggali bersama-sama.

Hendaknya segala perbedaan yang ada itu dibuat saling mengisi dan menguatkan, bukannya saling dipertentangkan dan saling menghancurkan. Perang bukan alat untuk menyelesaikan masalah. Hellen Keller berkata, ”Hasil tertinggi dari pendidikan adalah sikap toleransi.” Untuk menghasilkan manusia yang bersikap toleran terhadap perbedaan, diperlukan pendidikan yang terpadu dan berkesinambungan. Sedangkan kesenjangan dan ketimpangan dalam cinta kasih, pendidikan, harta, serta buntunya saluran komunikasi dan sikap arogansi hanya akan melahirkan generasi yang ekstrim.

Dalam suatu keluarga kecil saja selalu ada perbedaan, namun setiap anggota keluarga harus menghargai dan bersikap toleran terhadap perbedaan tersebut. Saya sejak kecil misalnya, suka makanan manis sedang kakak saya suka yang asin. Saya suka membaca, dia suka jalan. Kami cuma punya satu sepeda ontel, yang kemudian ganti satu sepeda motor untuk dipakai berdua. Jadi, kami berdua sejak kecil sudah belajar bersikap toleran dan tidak menang sendiri. Nah, dari keluarga kecil yang mengajarkan sikap toleransi sejak kanak-kanak itulah kemudian tumbuh manusia yang bersikap toleran.

Kita perlu ketahui bahwa dalam hidup ini selalu ada siang ada malam, ada susah ada senang. Demikian juga dalam kehidupan manusia selalu ada kekuatan positif dan negatif yang tarik-menarik. Ada kekuatan akan kasih, damai, bahagia, sejahtera, sehat, dan semuanya yang baik yang akhirnya membuat iri kekuatan negatif yang ingin menghancurkan, membinasakan, dan melenyapkan segala hal yang baik dari kehidupan manusia. Teror bom yang terjadi di atas telah memberi rasa khawatir, takut, kecewa, dendam, rasa pahit, putus asa, dan masih banyak hal negatif lainnya.

Kita semua baik, secara individu, komunitas, maupun pemerintah, mempunyai tugas untuk MEMENANGKAN peperangan ini dengan peran kita masing-masing di dunia. Mendidik anak-anak dan anggota keluarga dengan sikap toleran, hidup berbagi dengan yang lain, membantu yang lemah dan miskin, mensyukuri kehidupan kita, serta banyak hal lainnya yang dapat kita perjuangkan dan lakukan agar kita SEMUA bisa hidup damai dengan penuh kasih. Kita harus mencegah terjadinya ke senjangan, ketimpangan, keterpurukan sosial, ekonomi, pendidikan, sandang, papan, pangan, dan kemudahan komunikasi.

Albert Einstein berkata, ”Hanya ada dua hal yang tak terbatas: Alam semesta dan kebodohan manusia. Dan, saya tidak tahu pasti tentang alam semesta.”
Selamat berjuang dalam Kasih.