Profil
KH. Sholeh Bahruddin
KH. Sholeh Bahrudin adalah putra pertama dari sebelas bersaudara putra dari pasangan KH. Bahruddin dan Ny. Siti Shofurotun. Dilahirkan di desa Carat – Gempol – Pasuruan, tanggal 09 Mei 1953 M. Selesai mendalami pendidikan agama di berbagai pondok pesantren, pada usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1975, beliau menikah dengan Ny. Hj. Siti Sa’adah dari Trenggalek. Hingga sekarang beliau dikaruniai sepuluh putra, yaitu Siti Muthoharah, Atik Hidayati, Ahmad Syaikhu, Siti Faiqoh, Luluk N, Siti Khurrotin, M. Faishal (Alm), M. Busthomi (Alm), Siti Hajar dan Siti Nuronia.
Pada tahun 1985 beliau mendirikan lembaga pendidikan Pondok Pesantren Ngalah. Sebagai Pendiri dan ketua umum Yayasan Darut Taqwa Sengonagung Purwosari Pasuruan beliau juga menjabat sebagai musytasar NU cabang Pasuruan 2006-2010 M. Dalam menjalankan amanah, beliau sebagai pendiri dan pengasuh mempunyai prinsip atau motto ngayomi lan ngayemi terhadap sesama.
Dengan lembaga yang dirikan mulai TK sampai Universitas beliau mempunyai tujuan dan harapan untuk mencerdaskan bangsa dan mepertahankan nilai-nilai Pancasila.
Silsilah KH. Sholeh Bahruddin
- KH. Sholeh Bahruddin
- KH. Mohammad Bahruddin
- Kyai. Kalam
- Ny. Salimah
- Kyai. Sulaiman
- Kyai. Hasan besari
- Kyai. Ya’qub
- Kyai. Muhamad besari
- Kyai. Anom besari
10. Kyai. Ageng Abd. Rosyid
11. Kyai. Pangeran Santri
12. Joko Tingkir
Guru-guru KH. Sholeh Bahruddin
- KH. Bahruddin Kalam : Carat Gempol Pasuruan
- KH. Qushaeri : Mojosari Mojokerto Jawa Timur
- KH. Syamsudin : Mojosari Mojokerto Jawa Timur
- KH. Bahri : Sawahan Mojosari Mojokerto Jawa Timur
- KH. Jamal : Batho’an Mojo Kediri Jawa Timur
- KH. Musta’in : Peterongan Jombang Jawa Timur
- KH. Iskandar : Kandangan Ngoro Jombang Jawa Timur
- KH. Muslih : Mranggen Semarang jawa tengah
- KH. Munawir : Tegal Arum Kertosono Nganjuk Jawa Timur
Perjalanan hidup
KH. Mohammad Bahruddin Kalam
“Riwayat hidup KH. Mohammad Bahruddin ini disusun, dengan harapan bisa dijadikan teladan atau tuntunan. Dan riwayat ini disusun berdasarkan sumber data rekaman KH. Mohammad Bahrudin semasa hidupnya, tepatnya pada hari Selasa pahing tanggal 22 Selo 1398 H/ 24 oktober 1978, atas nama KH. Mohammad Bahruddin Kalam
Carat – Gempol – Pandaan”.
A. Moqodimah
Dengan memanjatkan rasa puji syukur yang sebanar-benarnya kepada Allah SWT dan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, karena apa? kita semua saat ini diberi ni’mat berupa kesehatan dan kita bisa menghayati riwayat hidup KH. Mohammad Bahruddin Kalam.
B. Masa Kecil KH. Mohammad Bahruddin
KH. Mohammad Bahruddin Kalam dilahirkan di Desa Juwet-Porong-Sidoarjo, 1346 H/1926 M. ayahnya bernama K. Kalam kelahiran Trenggalek, dan sekarang menetap di Dusun Juwet-Porong-Sidoarjo. Dan Ibunya bernama Nyai Safurotun, kelahiran Pelem-Kertosono-Nganjuk. Beliau mempunyai saudara sebanyak 12 orang yaitu; Adinah, Mustajib, M. Bahruddin, Asmuri, Asro, Slamet, Jami’atun, Nafi’atun, Abd. Manaf, Abd. Manan, dan Habisun.
KH. Mohammad Bahruddin Kalam kecil belajar dirumah diajar langsung oleh ayahnya sendiri dan guru-guru yang lain. Selanjutnya ketika menginjak dewasa beliau menuntut ilmu syari’at kepada almukarom Kyai Din, dusun Kemacuk-Kertosono-Nganjuk, kemudian berlanjut kepada Kyai Hasyim (Alm), dusun Banaran disebelah timurnya pasar Kertosono dan kepada Kyai Nuhin (Alm) Juwet-Porong.
Kemudian pada waktu beliau belajar (topo), mengalami beberapa riwayat antara lain, pada waktu pagi hari ± jam 06.30 pagi, beliau dituduh tetangganya membunuh kambingnya, tetapi ternyata selang beberapa waktu kemudian, beliau melihat kambing tersebut keluar dari kandangnya. Itu riwayat pada waktu beliau di Juwet-Porong diwaktu masih kecil.
C. Masa Perjuangan KH. Mohammad Bahruddin dalam Menumpas Belanda
Pada waktu Indonesia dijajah oleh Belanda KH. Mohammad Bahruddin ikut berjuang untuk menumpas Belanda di Kertosono-Nganjuk tepatnya pada tahun 1948 M. dalam penyerbuan tersebut beliau bergabung dengan santri pondok Nglawak, Kertosono-Nganjuk. Dimana pada waktu itu proses belajar mengajar pondok dihentikan, karena konsentrasi mengusir penjajah Belanda. Dan agresi tersebut dipimpin langsung oleh Pak Dahlan, dia selain sebagai tentara juga kepala pondok. Pernah sutu kali beliau dengan teman-temannya memutus jembatan yang ada di dusun Printer, timurnya Baron-Kertosono-Nganjuk dengan tujuan membuat bahaya pada orang-orang Belanda.
Kemudian suatu ketika, waktu Belanda membenahi Jembatan, ada seorang pemuda datang untuk melihat dari dekat, dan setelah dekat, Belanda langsung melepaskan tembakan tepat pada perutnya, seketika pemuda tersebut mati ditempat.
Strategi penyerangan yang dilakukan oleh KH. Mohammad Bahrudin dan teman-temannya adalah gerilya, dimana pada suatu malam beliau dan teman-temannya merencanakan menghadang praoto yang membawa Kompeni Belanda yang lewat di jurusan Jombang-Nganjuk. Kemudian beliau dan teman-temannya musyawarah untuk menentukan langkah-langkah penyerangan dan diputuskan dengan cara menggantung “Men”, yang digantungkan diatas pohon Trembesi, yang condong kejalan. Kemudian yang bertugas naik keatas pohon tersebut, untuk memasang “Men” adalah Misbarin, dari dusun Pelem. Dan setelah terpasang “Men” tersebut, ditarik dengan menggunakan kawat kecil yang berjarak ± 40 m/50 m, dengan berat 25 kg, kemudian sewaktu-waktu praoto Kompeni Belanda lewat, kawatnya langsung diputus Cek ngrutuhi Londo (menjatuhi Belanda), kemudian beliau dan teman-temannya menghajar Kompeni Belanda dengan menggunakan granat nanas. Kemudian beliau dengan teman-temannya di atur untuk tiarap di pinggir jalan, mulai sore sampai pagi, dengan tujuan untuk menjalankan agresi kepada Belanda, akan tetapi ternyata setelah ditunggu-tunggu tidak ada praoto Kompeni Belanda yang lewat sama sekali. Dan teman beliau yang dipenggal oleh Belanda bernama Miftahun.
Pada waktu memikul peralatan perang, beliau dan teman-temannya melewati kuburan yang besar dan rimbun sekali, dan terdengar suara terkikih menakutkan. Tetapi beliau dan teman-temannya malah senang sekali, bertemu dengan tempat yang sangat rimbun dan gelap tersebut, karena menurut beliau dan teman-temannya, tempat semacam itu bagaikan hotel, yang bisa dijadikan sebagai tempat persembunyian dan tempat berlindung yang aman, sedangkan suara terkikih itu dianggap sebuah hiburan yang menyenangkan.
Teman KH. Mohammad Baruddin yang terbunuh karena di jebak oleh Belanda bernama Mustakim, pada waktu agresi di Kertosono (tahun 1948), tidak diketahui tentang kabar beritanya sampai sekarang (1980), dan Insya Allah 90 % meninggal dunia.
Suatu ketika beliau di tugaskan oleh pimpinannya untuk menyelidiki daerah Pelem, tetapi naas beliau tertangkap Belanda dan Cakra. Kemudian beliau di tahan selama sehari dipabrik Sentanan Mojokerto, dan ± jam 10.00 siang beliau di datangi ayahnya, pada waktu itu ayahnya berumur ± 75 tahun, kemudian berkata kepada beliau, begini kata-katanya “Nak sak waged-waged sampean nak, sampean moco nopo-nopo mangken, mangken dalu, mantun maghrib Welandi kalian Cakra kalian mbeto lampu strongking kalian mbeto senjata…..niki, mangken sonten, narap dateng sampean lan wonten ingkang dipun taboki lan dipun jejek, lan dipun banting-banting setengah mati niku” setelah selasai berkata demikian, ayahnya pergi.
Ternyata benar yang dikatan ayahnya tadi, dimana setelah maghrib beliau melihat kerlap-kerlip cahaya lampu dari arah timur, melihat hal itu, beliau mencoba melompat tembok pabrik, untuk menghindari Belanda tersebut, akan tetapi usahanya gagal, karena Belanda dan Cakra sudah dekat. Kemudian beliau dan teman-temannya di kumpulkan dan di hajar satu persatu dengan cara dipukuli botol perutnya, disamping itu juga ada yang disuluti rokok perutnya, tetapi perut KH. Mohammad Bahruddin tidak sampai disuluti rokok. Pada waktu itu seakan-akan beliau merasa sudah hampir mati. Dan sebagian lagi ada yang di pukuli, di banting, sampai berdarah-darah mulutnya. Akhirnya pada waktu sudah setengah mati karena dihajar, beliau dan teman-temannya diborgol dan didudukan untuk dimintai maaf, bigini minta maafnya “saya minta maaf”, kemudian beliau sangat marah, dan dalam hatinya beliau bergumam “انا لله وان اليه راجعون”
“Cakra kurang ajar, awas kon onok jobo limpe, payu kon”.
Kemudian besok paginya beliau dan teman-temannya, dipindah ketahanan kantor polisi, selama 5 hari disana, dan suatu ketika pada waktu antri makan ditahnan, ada salah satu teman beliau yang kurang tertib, sampai-sampai terjadi dorong-dorongan, melihat kejadian itu Belanda langsung bertindak, untuk menghajar orang tersebut dengan menggunakan gagang tembak sekuat-kuatnya“Pruaaaaaak” sampai kejang-kejang sekarat, hal itu sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW.
حب الدنيا رئيس الخطيئة
“Menyukai dunia itu jadi penyebab timbulnya kesalahan”.
Begitu juga firman Allah dalam al qur an:
بسم الله الرحمن الرحيم والذين أمنو أشد حبا لله
“Orang yang beriman kepada allah itu sangat besar sekali cintanya kepada allah” (Q.S. al Baqarah : 164).
Itu merupakan perintah Allah, semoga kita semua selamat baik didunia maupun diakhirat nanti. Dan setiap orang pasti menyukai harta/dunia, karena mau bangun masjid, menyekolahkan anak, bangun pondok dan madrasah semua dengan harta. Cumak senang terhadap dunia menurut KH. Mohammad Bahruddin, di ibaratkan padi hanya setengah ebor, dan kalau senang kepada allah diibaratkan padi setengah ebor lebih. Dari itu marilah kita meningkatkatkan rasa senang kita kepada allah agar kita memperoleh ridlonya, amin3x yarobbal ‘alamin.
KH. Mohammad Bahruddin pada waktu dipenjara di Mojokerto tidak bisa menjalankan sholat, setiap kali beliau mendengar suara adzan atau suwara ketongan pertanda waktu sholat, beliau tengkurap, sambil menangis, hal itu dilakukan biar tidak diketahui teman-temannya. Jatah makan beliau di penjara sehari semalam hanya dua kali, dengan ukuran satu telapak tangan, itupun tidak penuh, persis seperti makanannya kucing. Dan sewaktu dihajar Belanda dan Cakara dipabrik Sentanan, beliau banyak membaca sholawat, karena sholawat, menurut KH. Mohammad Bahruddin sangat ampuh. Sholawat tersebut dibaca dalam hatinya, kalau digambarkan seperti air mendidih.
Sewaktu ada roling atau pengusutan, kemudian beliau mengajak teman-temannya untuk mengambil air wudlu, dengan harapan Allah berkenan mengeluarkan dari penjara. Sabagian teman beliau ada yang mau dan sebagian tidak, kemudian yang mau beliau ajak wudlu bisa keluar dari penjara, dan yang tidak mau diajak mengambil air wudlu tidak bisa keluar. Melihat beliau bisa keluar, teman-teman beliau menangis dengan sangat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al qur an:
ان الله يحب التوبين ويحب المتطهرين
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suci” (Q.S. al Baqarah : 229). Pada waktu beliau keluar dari penjara terasa tidak menginjak bumi karena sangat gembiranya.
Pada waktu KH. Mohammad Bahruddin mengahadap Belanda, beliau selalu memperbanyak membaca sholawat, kalau digambarkan seperti air yang mendidih. Karena beliau merasa memperoleh borokhah dari bacaan sholawat nabi Muhammad SAW, terbukti dalam hati beliau tidak ada rasa takut sama sekali, tetapi sebelum membaca sholawat hati beliau terasa susah yang amat sangat, yang tidak dapat diukur.
D. Uswah KH. Mohammad Bahruddin
Setelah keluar dari penjara pada waktu itu, beliau masih berada dipondoknya kyai Hasyim, Banaran-Kertosono-Nganjuk, kemudian beliau sowan ke orang tuanya, setelah selasai sowan, beliau mohon diri untuk kembali lagi kepondok, tetapi ayahnya meminta agar menunda keberangkatannya selama 4 hari lagi, hati beliau, bergejolak antara mengikuti perintah orang tua atau tidak, akhirnya beliau putuskan untuk menguikuti perintah ayahnya. Karena beliau ingat firman Allah dalam al qur an:
واعبدالله ولاتشرك به شيئا وبالوالدين احسانا بسم الله الرحمن الرحيم
“Kita semua diperintahkan menyembah kepada allah dan dilarang menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan allah memerintahkan kepada kita semua agar berbuat baik kepada kedua orang tua sekalian” (QS. an Nisa’ : 35).
Menurut KH. Mohammad Bahruddin taat kepada kedua orang tua itu merupakan sebuah keharusan dan jangan sampai kita menyakiti hati keduanya. Sehingga beliau tidak jadi berangkat kepondok. Karena, kok seumpama beliau jadi berangkat ke pondok, maka mulut dan hati beliau dihukumi terkena najis mugholadhoh yaitu najisnya anjing dan babi, pemahaman tersebut didasarkan pada kitab ta’limul Muta’alim,
أن يخترج عن الا خلاق الذميمة فانها كلب معنوية (تعليم المتعلم)
Kita semua diperintah untuk senantiasa menjaga akhlak atau budi pakerti yang tidak sesuai dengan syara’ yakni dengan syari’at, karena akhlak yang tidak sesuai dengan syara’, itu termasuk anjing yang bersemayam didalam dada, seumpama dilepas anjing tersebut sangat liar. Dan beliau ingat mulai sejak kecil sampai besar, itu tidak pernah menyakiti hati kedua orang tuanya. Seingat beliau, pernah melanggar dua kali, yang mana beliau hampir tidak kuat untuk menahan larangan orang tuanya. Salah satunya, pada waktu agresi tahun 1945 M, beliau mau ikut menyerbu Belanda ke Surabaya, dan sudah daftar, tetapi ibunya tidak meridloinya dan menangis. Kemudian beliau ingat perang besar membela agama islam itu hukumnya fardlu kifayah, yaitu kalau sudah ada yang berangkat, berarti sudah gugur kewajibannya. Dan pada waktu itu sudah ada yang berangkat yaitu kakaknya beliau yang bernama Mustajib. Kang Mustajib ini ikut menyerbu di dusun Damargi sekitar daerah Tebel-Buduran.
KH. Mohammad Bahruddin menikah dengan ibu Safurotun, tanpa peningset, karena beliau tidak diberi peningset oleh orang tuannya dan pernikahan beliau merupkan kehendak orang tua sama orang tua.
KH. Mohammad Bahruddin mengabdi dan tholabul ilmi kepada orang tua Ngoro ± 7 tahun. Kemudian selama 4 tahun beliau di uji tidak boleh makan nasi. Hal itu Sesuai dengan keterangan dalam kitab Ikhya’ Ulumuddin (Jld. 3. Hal. 83) yang menjelaskan tentang tirakat tidak makan nasi. Kemudian beliau diuji lagi pada waktu menjadi penganten yaitu dilarang tidur dirumah, semalam suntup, selama 4 tahun, beliau pernah tidur dirumah semalam suntup ± 6 hari, pada waktu di Juwet, cumak pada waktu di Juwet bertepatan mbah Nyai Safurotun bendero abang (red. Halangan), berarti tirakat beliau terus-terusan. Dan tahun sekarang ini menurut beliau berjalan cepat sekali, seperti blarak kobong, kratak-kratak isuk kratak-kratak.
Tunduk kepada orang tua atau kepada orang lain, semuanya itu harus didasari dengan ilmu, apabila perintah dan larangan syari’at tersebut, sesuai dengan syari’at boleh kita ikuti, namun ketika tidak sesuai, tidak usah kita ikuti. Hal itu sesuai dengan keterangan dalam kitab Ta’limul Muta’alim
لاطعة للمخلوق فى معصية الخالق (تعلم المتعليم)
“Tidak ada berbakti kepada makhluk didalam maksiat kepada allah. Jadi jelas apa yang menjadi larangan allah tidak perlu di ikuti” (Ta’limu al Muta’alim).
E. KH. Mohammad Bahruddin Sebagai Guru Mursyid
KH. Mohammad Bahruddin belajar ilmu thoriqoh di pondok Kyai Imam As’ari Ngoro-Mojosari-Mojokerto selama ± 20 hari, kemudian beliau dinikahkan dengan putri Kyai Imam As’ari yang bernama Siti Safurotun pada tahun 1950 M. Waktu itu beliau masih berumur 24 tahun. Kemudian tahun 1953 beliau dikaruniai putra yang kemudian diberi nama Mohammad Sholeh. Selain itu beliau juga mendalami ilmu thoriqoh ke ayahnya sendiri yaitu Kyai Kalam di Juwet-Porong-Sidoarjo.
Pada waktu kyai Sholeh masih berumur satu tahun, beliau tinggal kepondoknya almukarom kyai Munawir Tegalarum-Kertosono-Nganjuk, perlu untuk ngaos Thoriqoh dan lain sebagainya. Pertama, beliau ngaos 40 hari, setelah selesai beliau mohon pamit untuk pulang, karena sudah sangat rindu kepada istrinya, tetapi kyai Munawir tidak memperkenankannya, walaupun hanya dua hari, justru kyai Munawir menganjurkan agar beliau munggah ngaos lagi 60 hari, seketika itu hati beliau terasapoyang-payingan sekali, ibaratnya kok seumpama dicancangi cagak pasti lepas, berhubungdicancang ilmu akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, kemudian hati beliau ingat kalau istiqomah perkataannya guru itu wajib yaitu fardlu ‘ain. Menurut beliau kok seumpama jadi pamit dengan lisan dan hati, maka beliau hukumi terkena najis mugholadoh yaitu najisnya anjing. Pesan beliau hati kita semua jangan sampai dihinggapi kata-kata “perkoro guru golek maneh”, ibaratnya nyandung nyampar, kata-kata tersebut menunjukkan kalau su’ul khotimah.
Guru Mursyid menurut KH. Bahruddin, harus mempunyai ijazah izin dan ijazah mursyid. Izin itu dari guru dan ijazah itu tanda tangan guru, sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW.
لكل شيئ عالم. كلام امام صالح
“Semua perkara itu ada tanda-tandanya (Tanqikhu al qoul, Hal. 25).
Dan Gonyeh (meremehkan guru), itu menunjukkan kalau su’ul khotimah.
Tanda-tandanya orang beriman yaitu menjalankan sholat, karena bagi kita tidak tahu didalamnya hati. Tahu kita kalau orang beriman ya menjalankan sholat.
Pada waktu beliau (red. Ngaos Thoriqoh), di Pondoknya Almukarom Kyai Munawir Tegalarum- Nganjuk, selama ½ tahun dengan cara nerus yaitu naik turun-naik turun, sampai selesai. Kemudian beliau mendapatkan ijazah mursyid tepatnya pada tahun 1955. setelah itu, beliau di perintahkan untuk pulang ke orang tua Juwet-Porong dan orang tua Ngoro-Mojosari-Mojokerto.
Ijazah mursyid KH. Mohammad Bahruddin dari dua guru sekaligus yaitu kyai Munawir Tegalarum-Kertosono-Nganjuk dan bapak Kyai As’ary Ngoro-Mojosari-Mojokerto.
F. Proses Pencarian Tempat dan Kondisi Masyrakat sebelum ada Pondok Pesantren
KH. Mohammad Bahruddin di pondok Ngoro ± 7 tahun, 4 tahun awalnya, sampai kemudian 7 tahun. Selama disana beliau bertugas ngrekso jam sholat, kentong, dan adzan. Kecuali kalau ‘asar. Selain itu beliau juga yang memelihara masjid, kamar mandi dan lain-lainnya. Kemudian almarhum bapak Imam As’ary memerintahkan beliau agar mencari tempat, ke dusun Pucang, tapi gagal, kemudian mencari tempat lagi ke Carat dengan ditemani tiga orang yaitu kyai Ahmad Na’in, pak Qozin, dan pak Sapari, mereka berasal dari dusun Purworejo-Mojosari-Mojokerto.
Pada waktu ke Carat beliau dapat tanah miliknya pak Bawi atau mbok Runti Mojosari-Mojokerto. Pada waktu mengukur tanah, beliau ditemani oleh pak Swaten, pada saat itu, beliau berkata, begini”kidul niku kok dipun tempati tepak, keranten niku roto lan wiyar”. kemudian pak Swaten jawab“nggih dipun dol puniko nggadahe pak Ardi cumake sampun dipun nawis 1100 rupiah niku, seng nawis pak San Carat, niku”, kemudian beliau tutup dengan harga Rp 1200,-, cumak pak Ardi masih minta sak tancepe langgar angkring untuk jariyahnya, dan beliau menyetujuinya. Beliau mengarahkan tempat di disebelah timur pondok termasuk pojok kidul wetan. Pada waktu balik buku di pendapanya pak Ji’ah, pak Ardi tanya kepada pak lurah “opo gak di dewekno bukune, buku jariyahku, bumi sak pancepi langgar angkring”, pak lurah Sanali menjawab “mboten ngangge, mung sak monten mawon, ketanggungan”.
KH. Mohammad Bahruddin berani membeli dengan harga lebih, karena menurut predeksinya, beliau dapat menderikan masjid yang pertama. Kalau itu terwujud maka, ajaran thoriqoh Naqsabandiyah Mujadiyah Kholidiyah dapat terjaga dengan baik, itu pertama. Kemudian yang Kedua, ajaran syari’atpun juga demikian, karena kalau bukan KH. Mohammad Bahruddin sendiri yang mendirikan, beliau tidak akan berani menutup pintu masjid, setelah sholat jum’at, amalan-amalan dan wirid-wiridan. Karena merasa tidak ikut mendirikannya. Tetapi Karena beliau sendiri yang mendirikan, sehingga beliau berani mengunci pintu masjid, untuk melaksanakan Tawajuhan.
Kemudian setelah tanah terbeli, KH. Mohammad Bahruddin mendirikan Langgar dan Pondok pada waktu tahun 1955, secara bersamaan. Keduanya terbuat dari bambu atau bongkotan, dimana bahannya langgar diambil dari Ngoro, dan bahannya pondok diambil dari Juwet, pada waktu pendirian Langgar-Pondok, beliau minta bantuaan tenaga dari masyarakat sekitar (soyo). Tetapi ternyata pada pelaksanaannya hanya sedikit yang datang diantaranya pak Jama’i (H. Dul Ghoni), dan pak Ardi, sedangkan pak Jasim (red. Tetangga), aja tidak datang. Sedangkan yang membantu dari Juwet-Porong adalah Kang Mustajib, adik Asro, adik Slamet, pak Waras, pak Lim, dan kang Tholib. Dan yang dari Ngoro adalah Sarmadan, Ngetrep, Ahamad Jazuli, Sedati, pak Maikah, Ngetrep, dan pak Maksum, Sudimoro. Adapun konsumsinya tenaga yang dari Ngoro, dikirim dari pondok Ngoro demikian pula tenaga dari Juwet.
Pada waktu KH. Mohammad Bahruddin masuk desa Carat, disana hampir semua rumah memelihara anjing, ketika beliau melihat keadaan yang seperti itu, beliau tidak langsung melarangnya, akan tetapi beliau memberikan pelajaran bagimana cara mensucikan najis anjing tersebut. Kemudian pada waktu Gestapu anjing tersebut habis total. Beliau ketika mau mengerjakan sholat selalu berpindah kadang di ke Gempol satu kali tempo ke Ngoro.
Alhamdulillah Pembangunan mushalla Pondok selesai pada tahun 1955 M. bertepatan bulan tasyrik. Kemudian beliau diperintahkan (red. K. Kalam), untuk berangkat ke Carat sendirian, ada temannya yaitu malaikat.
Kemudian K. Kalam memerintahkan adik KH. Mohammad Bahruddin (Asro) untuk menemani beliau di waktu malam hari dan itu hanya berlangsung selama 5 hari, karena Asro tidak kerasan. Mengetahui adiknya tidak kerasan, beliau menyuruhnya pulang, waktu sampai dirumah ayahnya bertanya kepada Asro “kon kok yaene kok wis muleh?, sopo rewange kakangmu Bahrudin ?, sopo ?” kemudian Asro menjawab “mboten wonten rencangipun” kemudian K. Kalam menangis, dan langsung berdo’a “ya Allah mugi-o Allah paring rencang dateng yugo kulo Mohammad Bahrudin”,dan bersamaan dengan itu K. Kalam tidak bisa tidur semalaman, karena memikirkan KH. Mohammad Bahruddin.
Dan perkiraan Asro sampai dirumah Juwet, ± ½ jam, orang tuanya pak Jasim (mbok Royah), membangunkan pak Jazim, begini “Sim-Sim tangiho, wong lor iku, gak nok abane, antarane kok onok ewange, yo onok abane, ewangono, poo Sim, kono, Sim, abane gak onok ewange”, dan pak Jasim mau datang, untuk menemani KH. Mohammad Bahruddin. Beliau bangga sekali, karena ada yang menemani, dan kebanggaan beliau kalau di ibaratkan seperti orang menemukan mas, sebesar gunung kecil, dan itu merupakan do’a orang tua, yang langsung di kabulkan oleh allah, sehingga do’a restu orang tua, tetap menjadi harapan kita semua, hal itu, sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW dalam kitab Kasyifatu as Sajaa,
وفى ا لحديث لايرث قضاء الا دعاء ولا يزيد فلا عمرالا البر
“Tidak ada yang bisa menolak qodlo (ketentuan allah) kecuali do’a, dan tidak yang menambah umur kecuali kebaikan”.
Oleh karena itu kita semua jangan bosan-bosan untuk meminta (berdo’a) kepada Allah Swt.
G. Kiprah, Fitnah, Tantangan, dan solusi KH. Mohammad Bahruddin
KH. Mohammad Bahruddin mengalami sendirian di Carat ± 2 ½ tahun, dan pada waktu sendirian, beliau mengumpulkan orang untuk di ajak menjalankan jum’atan, dan pada waktu itu ada 12 orang, yang mau yaitu beliau sendiri (KH. Mohammad Bahruddin), pak Temo, pak Moden, pak Dol, pak Jasim, pak H. Abd. Ghoni, pak Tun, pak Padri, pak Ni, pak Tulus atau pak Salam, kang Maksum dan Pak Sarmun. Sedangkan dari pemuda ada 7 orang yaitu Sutejo, Danu, Poniman, Sabar, Mulyo, Amari dan kang Jaiz.
Pada waktu itu di Carat masih belum ada perkumpulan jum’atan, sehingga beliau kalau mau menajalankan jum’atan tidak tetap, kadang dimasjid Gempol satu kali tempo ke Ngoro, dan itu dilakukan dengan jalan kaki.
Pada waktu sendirian di Carat, satu kali tempo, beliau kangen kepada istri, kemudian setelah maghrib belaiu mengajak Amari ke Ngoro, dan disana tidak lama ± ¼ jam, kemudian kembali lagi ke Carat untuk mengimami sholat isak.
KH. Mohammad Bahruddin membuat kamar mandi, yang pertama hanya tempatnya air saja, dengan atap damen (daun padi), dan cagaknya dari pohon banten, dan pada waktu itu orang yang akrab dengan belaiu ada 6 orang yaitu pak Jasim, pak Tun, pak Tulus, pak Salam, pak Ni, dan pak H. Abd. Ghoni.
Kemudian pemuda yang dekat dengan beliau ada 6 pemuda, yaitu Danu, Sutekso, Buadi, Sabar, Kaban, dan Amari.
Kemudian lama-kelamaan beliau bisa membuat rumah, cumak rumahnya masih sederhana dengan menggunakan cagak bongkotan dan atap alang-alang gedek.
Dalam menapaki perjuangan beliau, tidak terlepas dari beberapa fitnah, pertama, beliau dituduh zina, kedua, dituduh korupsi, ketiga, dituduh bersekongkol dengan pencuri. Itu semua merupakan fitnah dan fitnah itu lebih kejam hukumannya dibandingkan dengan pembunuhan, sesuai dengan firman Allah yang berbunyi :
الفتنة أشد من القتل (۲:۱۹۰)
Orang tua KH. Mohammad Bahruddin Ngoro, merupakan ahli tirakat (tidak makan nasi) itu selama bertahun-tahun, mulai waktu dipondok sampai mempunyai istri dan dua anak, sama seperti KH. Mohammad Baruddin, bahkan mungkin lebih berat KH. Mohammad Bahruddin, karena beliau tidak bisa bertemu dengan istri. Kemudian kalau orang tua KH. Mohammad Bahruddin (Juwet-Porong) adalah ahli ziarah kubur, mulai dari sunan Ampel, Giri, Batu ampar, dan Bungkul, itu dilakukan paling sedikit 8 hari sekali, dan disana selama 8 hari. KH. Mohammad Bahruddin juga sama, tetapi tidak 8 hari melainkan 8 menit.
Dan keterangan beliu bisa di cross-cekh sesuai dengan tempat dan kepada orang yang selevel beliau.
KH. Bahruddin, waktu membuat batu bata ditemani oleh pak Jasim, dan beliau sangat semangat sekali sampai-sampai meninggalkan sholat isyrok, selama ± 5 isrok, karena beliau kepingin pembangunan segera selesai, niat beliau pada waktu itu adalah “kulo niat nyitak boto kangge tempat ngaji ferdlu kerono alloh”, Kemudian beliau sadar dan berpikir la iyo ngaji iku perlune opo ? Kan cek faham antara sing wajib, sunnah, boleh, makruh, haram lan sing bathil (tidak baik), aku roh sholat isrok, tapi ndak tak lakoni berart”i « aku iki belani kurungan yakni lus-lus kurungan manuke (isyrok) iku ucul » mulai sejak itu, KH. Mohammad Bahruddin tidak lagi meninggalkan sholat isyrok, karena menurut beliau ketika berani meningal sholat isyrok maka akan merambat, ke sholat-sholat sunnat lainnya. dan itu oleh beliau dihukumi kecopetan.
Beliau ingat firman Allah dalam al qur an,
وماالحياة الدنيا الا متاع الغرور
Tidak ada kehidupan di alam dunia kecuali hanya kenikmatan yang semu (QS. Al Imron, Hal. 184).
Pada waktu mau menaikkan kayu dan balungane pondok, beliau minta bantuan tenaga pada pak Gin, tapi naas pak Gin kena hukuman jaga tiga malam berturut-berturut, dari perangkat desa, karena tidak ikut bersih desa, tetapi justru ikut membantu KH. Mohammad Bahruddin.
KH. Mohammad Bahruddin mempunyai seorang murid syari’at namanya Amari putranya mbok Pah Carat, suatu ketika Amari, minta izin untuk ikut sekolah ke Gempol, tapi naas karena diketahui Kamituwo (Wak Asro), kemudian Amari dihadang dan dibawa kependapa kamituwo. Dan disana Amari dimarahi habisan-habisan, akhirnya hal itu oleh beliau dilaporkan kepada ketua ranting NU (Maksum), akhirnya selesai dan Amari bisa sekalah lagi dengan aman.
Suatu ketika ada penghinaan kepada KH. Bahruddin, pada waktu beliau pulang dari rumahnya pak H. Abd. Ghoni, ada orang disawah, kemudian ketika melihat beliau orang itu langsung mengucap begini “aku durung sembahyang ‘asar aku”
Kemudian penghinaan yang ditujukan kepada ibunya Kyai Sholeh, dengan cara cakap-cakap dengan temannya begini “kon ojok gandangan ae onok wong putihan liwat opo gak isin kon” dan pada waktu beliau mengawali ke pemakaman, kemudian ada orang yang berucap dengan lantang “ya….!!” Hal itu dilakukan dengan sengaja, tapi semuanya itu beliau hadapi dengan santai saja. Kemudian ada sebagian orang yang bilang sama cucunya begini “kon nek nakal-nakal, nek laki tak lakekno oleh santri kapok kon !!” (red. kamu kalau nikah tak nikahkan dengan santri), seakan-akanimage yang terbangun santri itu jelek, padahal modalnya santri itu banyak, apabila dibandingkan dengan dengan biaya sekolah formal.
Selanjutnya dalam perkembangannya, orang-orang Carat-Raos, sudah banyak yang insyaf,kemungkinan hanya 20 % yang belum, hasil penyelidikan beliau apa penyebab orang-orang sama insyaf ?, hasilnya adalah karena, pertama, tidak menghina orang yang tidak sholat, kedua, tidak menghina anjing, ketiga, sebab sembur suwuk, keempat, mulai mau belajar kepada anaknya,kelima, setiap ada kematian mau ta’ziyah dan mau memberikan kesaksian dan memaafkan,keenam, anaknya yang tholabul ilmi diajari tidak boleh berani kepada orang tua, ketujuh, minta hujan lalu terkabulkan.
Kemudian dalam perkembangannya beliau benyak menerima kiriman bantuan, antara lain,pertama, beliau dapat kiriman batu bata, tapi tidak jelas siapa yang mengirim batu bata tersebut, kejadian itu berawal dari kegelisahan beliau karena melihat pembangunan yang belum selesai, kemudian tiba-tiba datang dua cikar dengan membawa batu bata yang bagus-bagus. Dan batu bata tersebut oleh KH. Mohammad Bahruddin digunakan untuk membuat kamar mandi putri. kemudian beliau mulai mengusut dari mana, batu bata tersebut, kemudian beliau menanyakan hal itu kepada pak Aminah “sampean sing inggal niki kirim banon dateng panggenan kulo” kemudian mbok Aminah tidak menjawab, justru bingung dan tingak-tinguk. Mbok Aminah ini yang biasanya memberi KH. Mohammad Bahruddin dua bencar padi., Kedua, beliau dapat bantuan langgar angkring cagak empat, kemudian bantuan tersebut dijadikan langgar putri. Bersamaan dengan adanya gestapu PKI tahun 1966 M. beliau bisa membuat serambi masjid, tetapi kapanitiaan masih belum terbentuk, karena sangat minim dan lemahnya umat islam. Beliau menyelasikan pembangunan tanpa menggantungkan pada bantuan desa, tetapi belaiu megantungkan semuanya hanya kepada allah, لاحول ولا قوة الا بالله العلي العظيم cumak kanggo dohir ahlusunnah waljama’ah termasuk tiang ahli toriqah naqsabandiyah. Kemudian pada waktu mau mondasi, setelah jum’atan, beliau mengumumkan kepada jam’ah, dengan harapan mereka mau membantu. Tetapi ternyata orang-orang dusun yang ikut membantu pembangunan tersebut hanya empat orang yaitu, kang Teporejo, Bi’I, Carat, pak Tamar, Ngabei, Raos. Dan dapat bantuan dari dusun sebesar Rp 450,- uang tersebut digunakan untuk membeli batu kapur dan untuk membayar tukang, bantuan itu diantarkan langsung oleh pak Slawir (Pamong). Selain itu beliau juga ikut nukang, karena menurut pertimbangan beliau yang membantu hanya sedikit.
Kemudian dalam perkembangannya orang-orang Carat-Raos, mulai mau diajak gotong-royong untuk menyelesaikan tempat ibadah. Seiring dengan hal itu, beliau berkeinginan untuk mendirikan masjid, dalam hati, beliau berkata “pokok ono jagak papat dawane sangang meter punjul, insya alloh bakal wujud niku masjid” selang bebarapa waktu kemudian, beliau dapat aqiqah kambing dari H. Ibrahim, dan beliau pikir-pikir “la iyo wedos iki, ketimbang dipangan aggur-angguran, alok digawe nglumpukno umat islam Carat lan Raos, terus diajak moco sholawat nariyah yo iku akhehe 4444, lha yo enak, terus diajak dungo nang alloh supoyo masjid cepet selesai”. Dan rencana tersebut berjalan sesuai rencana yang diinginkan yaitu membaca sholawat nariyah.
Kemudian beliau dapat bantuan pohon kepoh yang dijadikan tapal batas dusun Kentongan, yang rencananya pohon tersebut digunakan untuk cagak (4) dan sisanya dipakai untuk membakar batu bata.
Pohon Kepoh tersebut merupakan permintaan KH. Mohammad Bahruddin kepada pak Sanalim (Mantri alas), dan di perbolehkan, kemudian pak Sanalim menyerahkan (pasrah), kepada beliau terkait dengan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi (wonten demite), setelah pemotongan pohon itu nanti, yang bisa mengganggu masyarakat, kemudian beliau sanggup untuk mengatasinya, dan sebaliknya beliau juga menyerahkan (pasrah), kepada pak Sanalim, soal gangguan orang-orang sekitar, dan pak Sanalim sanggup, sehingga beliau dibuatkan surat resmi. Dan sebelum pohon tersebut di tumbangkan terlebih dahulu beliau bacakan surat yasin 41x bersama dengan umat islam Carat-Raos dengan perantara air, kemudian air tersebut di siramkan kepohon Kepoh tersebut.
Kemudian setelah sholat jum’at beliau mengumumkan kepada jama’ah terkait dengan pemotongan pohon tersebut, dan yang memotong adalah umat islam Carat-Raos, selama dua hari penuh. Kemudian menurut riwayat pohon Kepoh tersebut, yang di riwayatkan oleh pak Saniah sebagi sesepuhnya orang Carat, itu sudah 9 orang yang meninggal sebab memotong pohon tersebut, dan anehnya pohon tersebut ketika dipotong dapat separo pohon tersebut bisa pulih seperti semula, dan beliau menyaksikannya sendiri.
Hasil iuran batu kapur orang-orang dusun, mulai terkumpul sebanyak 1 tong, dan itu digunakan beliau untuk melanjutkan pembangunan tembok masjid, dimana sebelumnya sudah mempunyai batu bata banyak, yang sebagian untuk pembangunan dan sebagian lagi dijual untuk kebutuhan yang lain. Pada waktu itu kepanitiaan sudah terbentuk, sehingga beban beliau semakin ringan. dan pertama kali yang dibangun oleh beliau adalah serambi, karena menurut pertimbangan beliau kalau masjid yang didahulukan, dikawatirkan nanti orang-orang berbicara urusan duniawi disitu.
Karena menurut sabda nabi Muhammad saw dalam kitab Tankih,
فى المسجد افضى الله اعماله أربعين سنة (تنقح القول, ص: ۲۱) من تكلم بكلام الدنيا
Artinya: Barang siapa berbicara urusan dunia didalam masjid, maka allah menghilangkan amal kebaikannya selama 40 tahun (Tanqih al Qoul, Hal, 21).
Pada waktu penggalangan dana jama’ah thoriqoh yang banyak memberikan dukungan dana dibandingkan dengan yang bukan jama’ah thoriqoh, bahkan ada salah seorang jam’ah (namanya dirahasiakan), yang amat serakah dalam urasan membantu pembangunan tempat ibadah, maunya di kuasai sendiri. Sedemikian itu keikhlasan orang-orang ahli thoriqoh naqsabandiyah yang mendapat pertolongan dari Allah SWT.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki KH. Mohammad Bahruddin pada waktu berjuang antara lain, pada waktu musim kemarau panjang beliau mengajak orang-orang untuk meminta kepada Allah supaya diturunkan hujan, akan tetapi suwara orang-orang yang tidak suka kepada beliau luar biasa, dengan kata-kata penghinaan, begini “awas onok banjir bandang sebab onok wong jaluk udan” dan kata-kata itu hampir satu kampung. Kemudian ternyata setelah isya’ hujan turun dengan deras, sampai terjadi banjir, akhirnya suwara orang-orang berbalik, begini “ngeneki, mungguho ngekei pak kyai bahruddin, rong pencar dang gak rugi“, cumak itu hanya sebatas ucapan, tidak ada bukti, tapi beliau tidak begitu mengharapkan pemberian mereka, yang terpenting bagi beliau, adalah tidak dihina, itu sudah cukup.
KH. Mohammad Bahruddin menikah pada tahun 1950 waktu berumur 24 tahun dan sampai tahun 1978 M beliau di karuniai 12 putra. Pertama, Mohammad Sholeh, lahir tahun 1953 M, kedua,Mohammad Ansor, lahir tahun 1956 M, ketiga, Mohammad Mansyur, lahir tahun 1958 M, keempat,Gufron, lahir tahun 1961 M, kelima, Siti Mariam, lahir tahun 1963 M, keenam, (meninggal), ketujuh,Mohammad Dhofir, lahir tahun 1967 M, kedelapan, Mohammad Ridlwan, lahir tahun 1970 M,kesembilan, Achmad fatah, lahir tahun 1972 M, kesepuluh, Siti Habibah, lahir tahun 1974 M,kesebelas, Mohammad Misbah, lahir tahun1975 M, dan kedua belas, Siti Munifah. Kemudian putra beliau yang meninggal dunia berjumlah tiga, yaitu Mohammad Ansor, Siti Habibah, dan yang keluron. Jadi sekarang putra-putri belaiu berjumlah 9 orang.