Inilah kisah cintaku, yang bermula tatkala aku melihat sorot matanya yang begitu tajam sempurna, seakan membidik setiap obyek yang di lihatnya. Aku, hanyalah seorang pemuda yang sedang beranjak dewasa, jadi wajar saja, aku merasakan jatuh cinta, yang menurutku sangat berjuta juta rasanya.
Aku mulai terpesona saat melihat sorot matanya yang begitu tajam, dengan pipi tembem berwarna merah merona semakin membuatku sulit tidur hanya untuk mengenang wajahnya. Subhanallah! Indah nian makhluk ciptaanMu satu ini ya Rabb! Gumamku dalam hati.
Sejak saat itu, aku mulai mencari tahu tentang dia, tentang kehidupannya, tentang pribadi serta semua seluk beluk tentang dirinya. Betapa bahagianya aku, setelah tahu bahwa ia adalah gadis yang memiliki kecerdasan serta kecantikan luar dan dalam, apalagi, dia masih belum ada yang punya. Dia masih sendiri.
Setelah mengetahui tentang dirinya, perlahan, aku mulai menyisipkan namanya di setiap doaku, karena aku ingin semuanya berjalan dengan Ridho-Nya, meskipun mungkin sebenarnya aku keterlaluan, karena ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu, karena aku baru memasuki jenjang perguruan tinggi, yang artinya aku masih semester satu. Namun apa daya, aku telah terpikat oleh sorot matanya yang tajam melekat.
Zahwa, itulah namanya, gadis jurusan pendidikan bahasa inggris yang berhasil memikat hatiku. Sulit sekali rasanya untuk bertemu dengannya, karena jurusan serta jam masuk kuliah yang selalu bersebrangan, untuk itu, sering aku meluangkan waktu berangkat lebih pagi dari jadwalku hanya sekedar untuk melihat wajahnya.
Aku hanyalah pemuda biasa, yang tak punya nyali untuk mengungkapkan apa yang aku rasa. Bagiku, mengagumi serta menyebut namanya dalam setiap doaku itu sudah cukup ku sebut sebagai sebuah usaha, setiap hari aku mencari tahu tentangnya, dan setiap hari itu pula aku bertekad untuk memperbaiki diri. Karena aku sadar, dia adalah gadis yang tak biasa, ia berbeda dengan yang lainnya. Jadi, aku harus lebih baik dari dia, sampai waktunya aku punya nyali untuk mengatakan semua yang aku rasa.
Semakin hari, semakin ku rasakan kedahsyatan rasa cintaku padanya, akupun ,mulai merasa rindu jika 1 hari tak memandang wajahnya, tak membuntutinya hingga ia masuk ke kelasnya. Ya Rabb! Harus bagaimana lagi aku menahan gejolak dalam hatiku ini, sedangkan aku belum benar benar siap untuk mengatakan pada zahwa.
Waktu terus bergulir, tak terasa aku sudah memasuki semester 5, dan rasa itu terus menggantung di ruang dadaku, tanpa sedikitpun zahwa mengetahuinya. Perlahan, aku mulai merasa, jika aku sudah pantas untuk memeperkenalkan diri kepada zahwa, hanya sekedar memperkenalkan diri dan tak lebih. Kebetulan, bulan ini jatahku untuk mencari sosok yang pantas menjadi narasumber di kolom “sosok” buletin kampus, dan aku memutuskan zahwa yang akan menjadi narasumberku. Karena, menurut para dosen, ia mahasiswi yang aktif di dalam kelas dan nilai IPK nya tak pernah kurang dari 3,95, Mendekati angka sempurna, benar benar wanita cerdas.
Kemudian sepulang kuliah, sengaja aku tak langsung pulang, aku menunggu zahwa di pelataran kampus. Hingga kemudian terlihat dari kejauhan zahwa berjalan dengan menundukkan kepala, seperti itulah cara berjalannya, mungkin ia ingin menjaga pandangannya. Ketika zahwa melintas di depanku, “zahwa!” seruku padanya, kemudian ia menoleh dengan ekspresi wajah yang bertanya Tanya. Kakiku gemetar, lidahku keluh, sehingga aku bicara seakan akan aku lelaki kikuk. memang, aku kikuk sebab baru kali ini aku melihat wajahnya begitu dekat, lekat. “iya, maaf! Kamu siapa?” Tanya zahwa. kemudian aku mengulurkan tangan untuk bersalaman, namun zahwa hanya membalas dengan mengangkat kedua tangannya di dada, isyarat sebagai ganti bersalaman.
Setelah menjelaskan semua maksud dan tujuanku menemui zahwa hari ini, ia bersedia untuk menjadi narasumberku. Akhirnya, nomer handphone sekaligus alamat rumahnya berhasil ku ketahui. Namun, aku belum berani membahas hal lain selain tujuanku menjadikan zahwa sebagai narasumber. Hingga jadwal wawancara yang di tentukan tiba. kali ini. aku bertanya langsung kepada zahwa tentang kehidupan sehari harinya. Bukan dengan cara bertanya secara diam diam kepada teman temannya, atau dengan mengintainya.
Setelah ia bercerita panjang tentang kehidupan sehari harinya, terbesit rasa iri kepada zahwa, karena ia begitu memanfaatkan waktu dengan sebaik baiknya, ia mengisi hari harinya dengan ke kampus, sepulang dari kampus, ia mengajari anak anak di sekitar rumahnya untuk mengaji, membaca, menulis, hingga memberi mereka hiburan dengan mendongeng. Dan malam harinya, ia gunakan waktunya untuk mengerjakan tugas serta mengulang mata kuliah yang telah di sampaikan dosennya. “Subhanallah! Begitu sempurna kau Zahwa!” ucapku dalam hati
Setelah benar benar mengetahui tentang kehidupan zahwa yang begitu teratur, di tambah dengan keadaan keluarganya yang cukup masyhur dan di hormati masyarakat, nyaliku mulai menciut, aku minder untuk mengatakan apa yang aku rasa, aku merasa belum pantas untuk Zahwa. diriku terlalu muna untuk gadis sebaik Zahwa, akhirnya, aku memutuskan untuk mengatakannya nanti, jikalau aku merasa sudah siap dan sudah cukup untuk memperbaiki diri.
Hari hariku pun sibuk dengan belajar, berdoa, dan membaca, aku belajar mendalami agama, aku belajar memfasihkan bacaan Al-Quranku yang sedikit terbata bata. Entah kenapa, cinta kepada Zahwa seakan akan membawaku pada perubahan besar dalam hidupku, aku mulai bersemangat untuk melakukan segala hal positif dan itu terasa sangat menyenangkan.
Satu tahun sudah waktu berlalu, sejak saat aku mewawancarai Zahwa. sejak saat itu juga, setiap kami bertemu, kami saling tegur sapa, itu artinya, Zahwa tak melupakan aku. Semua usahaku memperbaiki diri tak sia sia, aku mulai lancar membaca Al-Quran, aku juga sudah bisa istiqamah qiyamul lail seperti yang di lakukan Zahwa. dan, aku merasa hari hariku terasa bahagia, seakan begitu dekat denganNya. “ya Rabb, cinta pada makhlukMu, mengantarkan aku dekat denganMu, maka dekatkan aku dengan makhlukMu yang ku cintai, Zahwa!” doaku malam itu.
Sabtu 03 juni 2012.
Hari ini, aku bertekad untuk mengatakan cintaku yang berhasil kupendam selam 2tahun kepada Zahwa, dan jika memang Zahwa mau menerimaku. Maka, secepatnya aku akan mendatangi orang tuanya, karena aku tak ingin mengotori cintaku pada Zahwa yang berhasil mendekatkan aku dengan yang Maha Kuasa terkotori dengan nafsu nafsu yang tak jelas kapan berhentinya.
Aku duduk termenung di taman depan kampus sambil menunggu Zahwa lewat, “Assalamualaikum Zahwa!” sapaku tatkala melihat zahwa melintas. “Waalaikumsalam Zubair, ada apa?” sahut Zahwa. “bisakah kita ngobrol sebentar Zahwa, aku ingin mengatakan sesuatu padamu” kataku memulai pembicaraan. “iya silahkan!” jawab Zahwa.
Kemudian dengan cepat aku bercerita tentang perasaanku kepada Zahwa, bagaimana aku memendam rasa hingga memperbaiki diri karenanya. Zahwa tersenyum simpul, namun terlihat guratan kekecewaan di raut wajahnya, kemudian ia menundukkan kepala dan mulai bercerita “ Zubair, sejak saat kamu mewawancarai aku, aku sudah tertarik padamu, sebab sopan santunmu, tingkah lakumu berbeda dengan yang lainnya. namun, aku terus mencoba menepis rasa itu, karena aku berfikir kau tak akan tertarik dengan gadis sepertiku. Namun, aku juga tak bisa menepis bayang senyummu dari fikiranku, hingga terkadang aku merasa terbebani oleh rasa ini. hingga suatu saat, Abahku merasa bahwa sebentar lagi aku akan lulus, itu artinya aku sudah siap untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya, yaitu Gerbang pernikahan. Dan saat itu pula datang seorang laki laki melamarku kepada Abah, laki laki itu sholeh sama sepertimu, dan Abah serta Umi merasa cocok dengannya. karena aku ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua, aku menerima lamaran itu tatkala melihat Abah dan Umi yang merasa cocok dengannya, maafkan aku Zubair. Kini, aku sudah ada yang memiliki, Aku sudah di khitbah”, jelas Zahwa.
aku terkulai lemas mendengarkan cerita Zahwa, aku menyesal kenapa tidak sedari dulu aku mengatakan perasaanku pada Zahwa, tak terasa butiran bening membasahi pipiku, aku menyesal, kesedihanku begitu dahsyat. Kulihat mata Zahwa juga berlinang Air mata, kemudian ia berkata “Maafkan Aku Zubair, aku akan selalu berdoa agar Allah memberimu gadis yang jauh lebih baik dari Aku, semoga kebahagiaan selalu menyelimuti hidupmu, sekali lagi Maafkan Aku, aku pamit dulu, Asslamualaikum” kemudian Zahwa berlalu meninggalkanku, aku hanya bisa menangis tersedu sedu, “Ya Rabb aku kecewa!” jeritku dalam hati.
Cintaku padamu tak terjamah, bagai hembusan angin yang tak terarah,
Walaupun begitu, cintaku padamu, berhasil mendekatkanku padaNya.
Itu saja, sudah cukup untuk aku berbangga, sebab mencintamu ada guna.
Zahwa, mencintaimu adalah sebuah pelajaran untukku,
Bahwa cinta butuh keberanian, bahwa cinta butuh sebuah perjuangan.
Buktinya, aku berhasil berjuang agar bisa jadi yang terbaik untukmu,
walau nyatanya, cintamu tak berhasil ku sentuh.
Zahwa, aku bersyukur, sebab Kau juga berhasil menahan cintamu padaku,
walau itu berujung sebuah kepahitan, namun berkat kau juga memendam.
Kita jauh dari jurang kenistaan, gerbang kemaksiatan, yakni pacaran.
aku mencintaimu, walau tak terjamah. ZAHWA!