Ketika seorang Ayah menggenggam tangan lelaki asing untuk menyerahkan anak gadisnya lewat sebuah akad, disitulah kekhawatirannya memuncak. Sungguh, kekhawatiran itu sudah terjadi sejak pertama kali putrinya menangis setelah keluar dari rahim ibu.
Bukan, bukan karena malu seperti kaum arab jahiliyah ketika mendapati yang lahir bukanlah anak lelaki. Bagi kaum jahiliyah anak perempuan adalah aib hingga merah muka mereka lalu ingin membunuh anak perempuan yang baru saja dilahirkan. Bukan karena itu. Tapi karena seorang Ayah tahu jika Rasul pernah bersabda bahwa perempuan yang tak baik bisa menjadi fitnah. Karenanya Seorang Ayah dengan segala kemampuannya akan menjaga putrinya.
Ayah akan bercerita pada putrinya bahwa Allah begitu memuliakan wanita. Karenanya sejak putrinya masih belia, Ayah sudah membiasakan putrinya memakai pakaian yang diperintahkan Allah dan Rasulnya.
“Ketika Fatimah beranjak remaja, Rasulullah menasehati Fatimah yang merupakan putrinya bahwa ketika wanita sudah baligh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini (sembari menunjuk wajah dan telapak tangan).” Sang Ayah bercerita pada putrinya.
“Kenapa Ayah?” tanya sang anak dengan polosnya.
”Karena Allah sayang kepadamu, sayang kepada wanita-wanita muslim. Dengan menutup aurat kau akan terjaga. Sebab ketahuilah, lelaki kadang tak bisa menjaga pandangannya. Dan Ayah sangat bertanggungjawab terhadap putrinya, sebab selangkah saja kau keluar dari rumah dengan membuka aurat, selangkah juga Ayahmu menuju neraka. Bukankah putri Ayah sayang pada Ayah?” Sang Ayah tersenyum lalu mencium kepala putrinya. Sang putri pun mengangguk tanda mengerti.
Begitulah Ayah, dia akan menjaga putrinya dengan segala kemampuannya. Hingga Ayah melarang putrinya punya teman cowok. Karena begitu khawatirnya pada putri yang disayangnya.
“Tidak ada teman cowok yang boleh mendekatimu. Jika ia mengatakan cinta itu kebohongan. Jika ada yang mencintaimu, dia akan katakan langsung pada Ayah bukan padamu.”
Begitu sayangnya, begitu cintanya Ayah pada putrinya. Wajar jika airmatanya jatuh tak henti-henti sejak putrinya dilamar seorang lelaki hingga tangannya menggenggam tangan lelaki asing. Ayah cemas dan bertanya-tanya, Akankah lelaki asing ini akan sama sayangnya sebagaimana ia menyayangi putrinya? Apakah lelaki asing ini mampu menafkahi sebagaimana ia menafkahi putrinya selama ini? Akankah lelaki asing ini bisa menjadi sahabat bagi putrinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikirannya. Hingga Ayah menyadari bahwa ia memang tak bisa selamanya menjaga putrinya. Akan datang dimana Seorang Ayah harus merelakan putrinya untuk diurus lelaki lain. Saat itulah hanya do’a yang dipanjatkan semoga putrinya bisa menjadi istri yang baik untuk suaminya. Semoga suami adalah ssebaik-baik suami seperti sabda Rasul bahwa lelaki yang paling baik adalah yang paling lembut terhadap istrinya.
Foto ilustrasi: google
Profil penulis:
Oksa Putra Yuza seorang penulis yang lahir di Sumatera Selatan dan kini tinggal di Palembang.